Warga Terdampak Tolak PSEL Jatiwaringin, Minta Presiden Prabowo dan Gubernur Banten Hentikan Proyek

waktu baca 3 menit
Kamis, 6 Nov 2025 17:04 27 Nazwa

TANGERANG | BD — Warga terdampak bersama sejumlah aktivis lingkungan menyatakan penolakan terhadap rencana pembangunan proyek Waste to Energy (WtE) atau Pengolah Sampah Energi Listrik (PSEL) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatiwaringin, Kabupaten Tangerang. Mereka menilai proyek yang digagas Gubernur Banten Andra Soni tersebut bukan solusi berkelanjutan, melainkan ancaman baru terhadap lingkungan dan hak hidup warga sekitar.

Rencana pembangunan PSEL Jatiwaringin sebelumnya dibahas dalam rapat koordinasi lintas daerah yang dipimpin langsung oleh Gubernur Banten Andra Soni bersama Bupati Tangerang, Wali Kota Tangerang, dan Wali Kota Tangerang Selatan pada Rabu (5/11/2025). Rapat tersebut menegaskan komitmen tiga kepala daerah di Tangerang Raya untuk mempercepat realisasi fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik di kawasan aglomerasi tersebut.

Dalam pernyataannya, Andra Soni menyebut bahwa proyek PSEL bukan sekadar keinginan, tetapi kebutuhan mendesak dalam menghadapi persoalan sampah yang kian kompleks di wilayah Banten.

Namun, pernyataan itu menuai kritik keras dari Koordinator Aktivis dan Warga Terdampak TPA Jatiwaringin Menggugat, Aditya Nugeraha. Ia menilai bahwa Gubernur Banten tidak memahami secara benar konsep Waste to Energy dan justru membuka potensi munculnya masalah baru, seperti pencemaran udara, kesehatan warga, hingga pelanggaran hak lingkungan hidup.

“PSEL bukan strategi konstruktif untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Justru bisa memunculkan masalah baru seperti polusi udara akibat sistem pembakarannya,” tegas Aditya dalam keterangan tertulis, Kamis (6/11/2025).

Menurut Aditya, proyek tersebut bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang menekankan pentingnya pengelolaan di hulu — yakni pengurangan timbulan sampah dari rumah tangga dan industri, bukan pembakaran di hilir.

“Jika proyek ini dijalankan, arah kebijakan akan bergeser ke penyelesaian di hilir. Padahal, semangat Zero Waste seharusnya dimulai dari pengurangan di hulu. Jadi, ini bukan solusi, melainkan langkah mundur,” ujarnya.

Aditya juga menilai bahwa konsep Waste to Energy yang diklaim ramah lingkungan sebenarnya justru memberi ruang bagi industri untuk terus menciptakan sampah tanpa tanggung jawab.

“Konsep Waste to Energy yang benar bukanlah membakar sampah, tapi menciptakan sistem produksi dan konsumsi yang tidak menghasilkan sampah sejak awal. Kalau pembakaran dijadikan solusi, maka industri tinggal ‘cuci tangan’ dari tanggung jawab mereka terhadap limbah,” jelasnya.

Selain itu, Aditya menyoroti pernyataan Gubernur Banten yang menyebut proyek PSEL sebagai “kebutuhan”. Menurutnya, pernyataan tersebut merupakan upaya untuk menutupi kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola sampah dan menghindari sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas praktik open dumping yang masih berlangsung di beberapa wilayah Banten.

“Kebutuhan yang dimaksud Gubernur itu patut diduga hanya sebagai alasan untuk mengelak dari sanksi. Faktanya, pengelolaan sampah di Tangerang Raya sudah gagal sejak awal,” ungkapnya.

Lebih jauh, Aditya menilai janji pemerintah untuk menyediakan air bersih bagi warga terdampak sebagai kompensasi proyek PSEL merupakan bentuk pembodohan publik.

“Air bersih bukan hadiah, tapi hak warga yang wajib dipenuhi. Jangan sampai udara tercemar dibarter dengan janji air bersih. Itu sama saja menukar satu hak dengan kehilangan hak lainnya,” tandasnya.

Atas berbagai alasan tersebut, Aditya dan warga terdampak mendesak Presiden Prabowo Subianto, Gubernur Banten Andra Soni, serta para kepala daerah di Tangerang Raya untuk menghentikan rencana pembangunan proyek PSEL Jatiwaringin.

Mereka menilai, solusi pengelolaan sampah berkelanjutan seharusnya berfokus pada edukasi publik, penguatan kebijakan reduce-reuse-recycle (3R), serta penegakan hukum terhadap industri yang menjadi sumber utama timbulan sampah, bukan mengandalkan pembakaran yang justru merusak lingkungan.

“Kami hanya ingin lingkungan yang sehat, udara yang bersih, dan kehidupan yang layak. Itu bukan tuntutan berlebihan, tapi hak konstitusional warga negara,” pungkas Aditya. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA