Kuliah untuk Perempuan: Hak yang Masih Dianggap Tabu di Pedesaan

waktu baca 3 menit
Sabtu, 20 Des 2025 16:32 13 Redaksi

 

OPINI | BD — Di beberapa daerah, terutama di wilayah pedesaan, masih berkembang pemikiran tabu yang menganggap perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi. Keyakinan lama ini berakar dari budaya patriarki yang menempatkan perempuan semata-mata pada peran domestik, seperti mengurus rumah tangga, menikah di usia muda, atau membantu keluarga. Pandangan tersebut diwariskan secara turun-temurun dan kerap dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Padahal, menurut saya, cara pandang ini bukan hanya ketinggalan zaman, tetapi juga menghambat kemajuan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Pemikiran tabu tersebut umumnya muncul dari anggapan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan hanyalah pemborosan waktu dan biaya karena “pada akhirnya juga akan kembali ke dapur”. Ada pula pandangan bahwa investasi pendidikan lebih pantas diberikan kepada anak laki-laki karena dianggap sebagai calon pencari nafkah utama keluarga. Bahkan, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa perempuan yang berkuliah akan melupakan kodratnya sebagai istri dan ibu. Cara berpikir sempit seperti inilah yang menyebabkan pendidikan perempuan kerap dipandang tidak penting.

Selain itu, terdapat kekhawatiran berlebihan bahwa perempuan yang menempuh pendidikan tinggi akan menjadi “terlalu bebas”, sulit diatur, atau melanggar norma sosial yang berlaku di lingkungannya. Kekhawatiran ini umumnya tidak didasarkan pada fakta, melainkan pada ketakutan terhadap perubahan. Akibatnya, banyak perempuan di pedesaan terpaksa mengubur mimpi dan potensi diri mereka. Padahal, perempuan memiliki kemampuan, kecerdasan, dan semangat belajar yang setara dengan laki-laki.

Pendidikan tinggi bagi perempuan justru membawa banyak manfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya. Perempuan berpendidikan cenderung memiliki wawasan yang lebih luas, pola pikir yang kritis, serta kemampuan mengambil keputusan secara mandiri. Mereka juga memiliki peluang kerja yang lebih baik sehingga dapat berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian keluarga. Dengan pendidikan, perempuan tidak hanya menjadi penerima keadaan, tetapi juga mampu berperan sebagai agen perubahan.

Perempuan yang berpendidikan juga dapat menjadi teladan bagi generasi berikutnya, terutama bagi anak-anak perempuan di sekitarnya. Kehadiran sosok perempuan terdidik membuktikan bahwa pendidikan bukanlah hak eksklusif satu gender. Secara perlahan, hal ini mampu mengubah pola pikir masyarakat dan mematahkan stigma lama yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan, semakin baik pula kualitas hidup keluarga di masa depan. Perempuan berpendidikan cenderung lebih memahami pentingnya kesehatan, gizi, dan pendidikan anak. Mereka juga lebih siap menghadapi tantangan hidup serta mampu mengelola keuangan keluarga dengan lebih bijak. Dengan demikian, pendidikan perempuan sejatinya merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, pemikiran tabu yang menganggap perempuan tidak perlu berkuliah jelas bertentangan dengan tujuan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat pedesaan perlu mulai membuka diri terhadap perubahan dan meninggalkan cara pandang lama yang membatasi perempuan. Orang tua, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung akses pendidikan bagi perempuan.

Di sisi lain, perempuan juga perlu didorong untuk berani bermimpi dan memperjuangkan hak pendidikannya. Dukungan moral, motivasi, serta kesempatan yang adil sangat dibutuhkan agar perempuan dapat mengembangkan potensi diri secara maksimal. Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi perempuan untuk tumbuh, belajar, dan menentukan masa depannya sendiri tanpa tekanan sosial.

Pada akhirnya, perempuan berkuliah bukanlah hal tabu, melainkan hak dan kebutuhan yang harus dihormati. Pendidikan bagi perempuan merupakan langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil, cerdas, dan sejahtera. Ketika kesempatan pendidikan dibuka seluas-luasnya bagi semua gender, bukan hanya perempuan yang maju, tetapi seluruh komunitas dan bangsa pun akan ikut berkembang.

Penulis: Habsah Larasati, mahasiswa Prodi Administrasi Negara, Universitas Pamulang kampus Serang. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA