Tawuran Anak Remaja: Gangguan Psikologis, Luka Keluarga, atau Sekadar Gaya?

waktu baca 3 menit
Sabtu, 20 Des 2025 23:43 13 Nazwa

OPINI | BD – Tawuran anak dan remaja kerap dipahami sebagai bentuk kenakalan semata. Namun, di balik aksi saling serang itu, ada cerita tentang rasa penasaran, tekanan emosi, dan kuatnya pengaruh lingkungan. Seorang remaja yang pernah terlibat tawuran mengungkapkan pengalamannya secara jujur.

”Saya ikut tawuran karena penasaran, banyak yang bilang tawuran itu seru tapi pas ikut ternyata gak ada yang buat seru yang ada malah buat sengsara diri sendiri sama orang tua, yang buat sengsara nya itu kalo udah dapet korban, dan dapet korban kita pasti di cari sama polisi dan kalo kita korban, kita masuk rumah sakit atau kita sendiri yang mati konyol karena ikut tawuran” ujarnya. Namun, realitas yang dihadapi jauh dari bayangan.

Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa tawuran sering kali dimulai dari rasa ingin tahu yang keliru. Ketika kekerasan sudah terjadi, konsekuensinya bukan hanya luka fisik, tetapi juga trauma psikologis dan beban sosial yang harus ditanggung keluarga.

Mengakui bahwa tawuran kerap dijadikan sarana pelampiasan emosi. ”Buat yang pikiran nya cetek tawuran bisa jadi pelampiasan emosi juga karena di situ emosi kita bisa kita lepas semua nya” katanya. Selain itu, ada dorongan untuk tampil berani di hadapan kelompok. “Ada juga yang ikut cuma biar dianggap keren atau kuat.”

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kekerasan dipersepsikan sebagai simbol kekuatan. Di usia remaja, kebutuhan untuk diakui sering kali lebih dominan daripada pertimbangan rasional tentang risiko.

Soal penyebab keterlibatan, faktor lingkungan diakui sangat menentukan. ”Lebih ke ajakan temen temen karena, selagi lingkungan yang kita temuin itu ga baik pasti ikutan terjerumus ke hal yang ga baik” tuturnya. Ajakan yang berulang, solidaritas kelompok, dan rasa sungkan untuk menolak membuat tawuran seolah menjadi bagian dari rutinitas dan malah membuat dampak negatif bagi masyarakat, keluarga, dan diri sendiri.

Disisi lain, ada juga yang karena faktor masalah keluarga, pelarian, dan bahwa ada juga untuk memperoleh identitas. Rasa solidaritas dalam sekelompok geng, kesetian, dan perasaan ”dianggap ada” sering kali mengisi kekosongan emosional yang tidak didapatkan dari keluarga. Di sinilah faktor lingkungan sosial dan budaya populer berperan. Narasi maskulinitas semu bahwa berani berkelahi berarti kuat, jantan, dan patut dihormati masih mengakar kuat. Media sosial memperparah kondisi ini dengan glorifikasi kekerasan video tawuran ditonton, dibagikan, bahkan dijadikan ajang pembuktian eksistensi.

Sementara itu, anak-anak yang terlibat dalam tawuran bukan sekardar pelaku, melainkan juga korban dari sistem sosial yang tidak mampu menciptakan lingkungan yang aman untuk mengkspresikan perasaan, meraih prestasi, dan memperoleh penghargaan.

Kutipan-kutipan ini menegaskan bahwa tawuran bukan sekadar persoalan individu, melainkan persoalan sosial. Selama anak-anak tidak memiliki ruang aman untuk menyalurkan emosi dan mencari pengakuan secara positif, kekerasan akan terus dianggap sebagai jalan keluar. Mendengar suara dari mereka yang pernah terlibat seharusnya menjadi pengingat bahwa pencegahan tawuran tidak cukup dengan hukuman, tetapi membutuhkan pendampingan, pendidikan karakter, dan lingkungan yang lebih sehat.

Penulis: Kirana Iksan, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA