Site icon BantenDaily

Alarm Bully yang Tak Pernah Padam: Krisis Nilai Pancasila di Era Maraknya Perundungan

Gelombang bullying di kampus Indonesia kian memprihatinkan. Kasus Timothy jadi alarm bahwa nilai Pancasila dan empati generasi muda perlu dipulihkan.

Afifah Ajrina. (Foto: Dok. Pribadi)

OPINI | BD – Bullying (perundungan) di Indonesia bukan lagi sekadar masalah perilaku remaja. Ia telah berubah menjadi alarm panjang yang terus berbunyi—sebuah tanda bahwa ada sesuatu yang retak dalam moral generasi muda dan nilai Pancasila yang kian tergerus.

Setiap tahun, laporan kasus perundungan bertambah. Di sekolah, di kampus, bahkan di ruang digital yang seharusnya menjadi tempat berekspresi. Data Kemendikbudristek mencatat 520 kasus bullying di perguruan tinggi sepanjang 2023. Sementara survei Asosiasi Pendidikan Tinggi Indonesia pada 2022 menunjukkan satu dari lima mahasiswa pernah menjadi korban. Angka yang mengerikan ini tidak hanya membuktikan bahwa bullying makin meluas, tetapi juga makin membudaya.

Namun, statistik tak pernah bisa benar-benar menggambarkan luka sesungguhnya—luka yang tampak jelas dalam tragedi yang menimpa Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Sosiologi Universitas Udayana. Seorang pemuda yang datang ke kampus untuk belajar dan bermimpi, tetapi justru menemukan tekanan yang membuatnya kehilangan harapan. Dugaan bullying terhadap Timothy bukan hanya menyayat hati, tetapi juga menjadi cermin bahwa dunia pendidikan kita tidak lagi seaman yang kita bayangkan.

Yang lebih pedih, bahkan setelah Timothy meninggal, percakapan digital yang berisi ejekan terhadapnya masih tersebar. Fakta itu menohok nurani siapa pun yang masih memegang Pancasila sebagai nilai hidup. Apakah kita sudah sebegitu hilang empati hingga kematian seseorang pun tidak mampu menghentikan hinaan?

Ketika Empati Mati dan Senioritas Dijadikan Senjata

Bullying tidak hadir tiba-tiba. Ia tumbuh dari hilangnya empati, normalisasi kekerasan, dan budaya senioritas yang dijadikan legitimasi untuk menindas.

Kampus—yang seharusnya menjadi ruang aman—justru menjadi arena hierarki sosial yang penuh tekanan. Pelaku sering menganggap perundungan sebagai lelucon, sedangkan korban memendam luka yang tak terlihat. Di sisi lain, banyak lembaga pendidikan belum memiliki sistem pelaporan yang benar-benar melindungi.

Kita sering berbicara tentang “canda yang keterlaluan”, padahal canda yang melukai bukanlah canda. Itu adalah kekerasan.

Salah Satu Cermin Paling Buram: Pelanggaran Nilai Pancasila

Kasus-kasus bullying yang terjadi hari ini adalah bukti nyata bahwa nilai Pancasila tidak lagi tertanam kuat dalam kehidupan generasi muda. Setidaknya tiga sila utama dilanggar secara terang-terangan:

1. Sila ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Bullying merampas martabat manusia. Ia menghina, meremehkan, merusak mental, bahkan menimbulkan kematian. Pada kasus Timothy, pelanggaran terhadap sila kedua begitu nyata—terutama ketika hinaan terus dituliskan bahkan setelah korban tiada. Sebuah tindakan yang jauh dari adab.

2. Sila ke-3: Persatuan Indonesia

Persatuan menuntut kita saling mendukung. Namun bullying menciptakan garis pemisah: yang kuat dan yang lemah, yang diterima dan yang disingkirkan. Lingkungan kampus yang seharusnya menumbuhkan solidaritas justru melahirkan kompetisi sosial yang toksik.

3. Sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Ketika korban tidak dilindungi dan pelaku tidak dihukum tegas, rasa keadilan runtuh. Terlalu banyak kasus perundungan yang berakhir tanpa konsekuensi. Akibatnya, korban bungkam dan pelaku merasa tak tersentuh hukum.

Mengapa Pendidikan Pancasila Masih Sangat Penting?

Regulasi saja tidak cukup. Hukuman bisa menghentikan perilaku sesaat, tetapi tidak mengubah hati. Krisis bullying adalah krisis moral, bukan sekadar pelanggaran administratif.

Itulah mengapa nilai Pancasila harus kembali diajarkan sebagai pedoman hidup, bukan sekadar hafalan untuk ujian.

Nilai kemanusiaan membentuk empati.
Nilai persatuan menumbuhkan rasa kebersamaan.
Nilai keadilan mengingatkan bahwa setiap orang berhak aman.

Jika nilai-nilai ini benar-benar tertanam, bullying dapat dicegah sejak dalam pikiran.

Solusi Konkret: Dari Ruang Digital hingga Ruang Kampus

Mencegah bullying membutuhkan langkah nyata yang dekat dengan keseharian mahasiswa:

1. Literasi Digital Berbasis Etika Pancasila

Workshop, simulasi chat, dan game edukasi untuk mengajarkan empati di dunia maya.

2. Pembentukan Pusat Anti-Bullying Kampus

Dengan layanan konseling gratis, pelaporan anonim, dan pendampingan korban.

3. Kampanye Kreatif oleh Mahasiswa

Konten-konten anti-bullying di TikTok, Reels, podcast, hingga tantangan digital yang relatable bagi generasi muda.

4. Penegakan Sanksi Tegas dan Transparan

Agar pelaku tidak merasa kebal, dan korban tidak merasa sendirian.

Penutup: Saatnya Menjawab Alarm yang Terus Berbunyi

Bullying yang merenggut martabat bahkan nyawa adalah bukti bahwa nilai kemanusiaan kita sedang terancam. Kasus Timothy hanyalah salah satu yang disorot publik; entah berapa banyak korban lain yang memilih diam.

Alarm itu terus berbunyi.
Pertanyaannya: apakah kita akan terus mengabaikannya?

Jika generasi muda ingin menjadi pribadi yang beradab, empatik, dan berkarakter, maka Pancasila harus kembali dihidupkan dalam hati, bukan hanya di buku pelajaran. Menghormati manusia lain adalah langkah pertama untuk memulihkan dunia pendidikan—agar tidak ada lagi mahasiswa yang merasa lebih aman melompat dari gedung daripada bertahan dalam lingkungan perundungan

Penulis: Afifah Ajrina 
Mahasiswi Semester 1, Mata Kuliah Pancasila, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi. (*)

Exit mobile version