Disambangi Gubernur Sherly, Gubernur Dedi Mulyadi Bicara Soal Dana, Tradisi, dan Tekanan Sosial

waktu baca 2 menit
Selasa, 10 Jun 2025 10:29 20 Nazwa

JAWA BARAT | BD – Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, mengunjungi kediaman Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, di Lembur Pakuan, Subang, pada Minggu, 8 Juni 2025.

Pertemuan ini berlangsung dalam suasana yang akrab dan penuh diskusi, membahas berbagai isu mulai dari birokrasi, transparansi keuangan daerah, hingga pengalaman Dedi selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta.

Dalam video yang diunggah di kanal YouTube KDM Channel, pertemuan ini diungkapkan sebagai momen untuk bersilaturahmi dan bertukar pikiran mengenai pengelolaan pemerintahan daerah. Dedi Mulyadi menyatakan, “Kami hanya silaturahmi, tetapi juga berbagi tentang pengelolaan keuangan daerah dan transparansi.”

Dalam video tersebut, Sherly tampak mengenakan busana putih, didampingi oleh dua kolega dan anaknya. Dalam obrolan yang santai namun bermakna, Dedi mengungkapkan keprihatinannya terhadap hilangnya nilai-nilai tradisi di masyarakat Jawa Barat saat ini. “Masalah orang Jabar, mereka sudah lama meninggalkan tradisinya. Sekarang saya ajak lagi, tradisi itu bukan ketertinggalan, tetapi kemajuan,” ujarnya.

Sherly juga menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu untuk mempelajari lebih dalam tentang tata kelola pemerintahan, termasuk perbedaan antara menjabat sebagai bupati dan gubernur. “Apa bedanya jadi bupati sama gubernur? Gampang mana?” tanya Sherly. Dedi menjawab dengan guyonan, “Beda uang, dulu sedikit, sekarang banyak. Gampang jadi gubernur, pusing jadi bupati, karena anggarannya kecil.”

Dalam kesempatan itu, Dedi juga menceritakan masa-masa sulit ketika menghadapi tekanan dari kelompok yang mengatasnamakan agama selama menjabat Bupati Purwakarta. Ia mengaku pernah menjadi sasaran protes karena mempertahankan budaya lokal, seperti mengenakan iket Sunda dan menyapa dengan ucapan “Sampurasun.”

“Ributnya itu, saya kan kerjanya ribut. Kelompok atas nama agama, waktu itu saya pakai iket, ribut. Bilang ‘sampurasun’, ribut. Pakai iket katanya musyrik, kafir, didemo. Waktu itu saya belum menguasai media sosial,” jelas Dedi.

Pertemuan ini mencerminkan kolaborasi antardaerah serta menjadi refleksi atas dinamika kepemimpinan di tengah tantangan sosial dan budaya yang kompleks. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA