Gen Z, Judi Online, dan Krisis Moral: Ketika Pancasila Hanya Menjadi Hafalan

waktu baca 5 menit
Rabu, 26 Nov 2025 07:44 65 Redaksi

OPINI | BD — Indonesia sedang berada pada titik krusial dalam menghadapi perubahan sosial yang dihasilkan oleh pesatnya perkembangan teknologi digital. Internet dan smartphone membuka peluang besar bagi generasi muda untuk belajar, berkarya, dan membangun masa depan. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul ancaman baru yang merusak moralitas bangsa, salah satunya adalah maraknya judi online. Aktivitas ini tidak lagi dipandang sebagai perilaku menyimpang yang tabu, melainkan menjelma menjadi “hiburan digital” yang dianggap wajar, bahkan trendi, terutama di kalangan Generasi Z.

Fenomena ini berkaitan erat dengan krisis nilai yang perlahan menggerogoti sendi kehidupan sosial. Ketika layar ponsel menjadi jendela dunia, generasi muda seolah ditarik masuk ke budaya serba instan: ingin cepat kaya, ingin hasil besar tanpa usaha, dan mudah terpengaruh gaya hidup semu yang disebarkan media sosial. Di tengah kondisi tersebut, Pancasila sebagai dasar moral, etika, dan karakter bangsa justru semakin kabur dalam ingatan dan perilaku sebagian generasi.

Lalu, bagaimana judi online dapat mengancam moralitas Generasi Z? Mengapa Pancasila terasa hanya seperti hafalan, bukan pegangan hidup? Artikel ini mencoba membahas persoalan tersebut secara mendalam.

Judi Online dan Realitas Baru Generasi Z

Generasi Z tumbuh dalam iklim digital yang serba cepat, visual, dan instan. Hidup mereka dipenuhi notifikasi, konten singkat, dan algoritma media sosial yang terus memicu dopamine. Dalam ekosistem seperti ini, judi online hadir sebagai “hiburan cepat, mudah, dan menguntungkan”—setidaknya menurut iklannya. Banyak platform judi tampil dengan desain cerah, bonus besar, dan host menarik yang mempromosikan kemudahan mendapatkan uang.

Beberapa alasan mengapa Gen Z mudah terjebak antara lain:

  1. Tekanan ekonomi dan gaya hidup digital
    Keinginan mengikuti standar hidup media sosial mendorong banyak anak muda mencari cara cepat untuk “terlihat sukses”.
  2. Paparan iklan dan konten influencer
    Influencer kerap mempromosikan situs judi secara terselubung, memperkuat normalisasi perilaku berisiko.
  3. Kecanduan dopamine
    Sistem reward cepat dari judi online membuat otak remaja rentan kecanduan.
  4. Kurangnya kontrol diri dan pendampingan nilai
    Pendidikan moral dari keluarga maupun sekolah semakin minim sehingga nilai-nilai etika tidak tertanam kuat.

Fenomena ini bukan sekadar masalah perilaku individu, tetapi juga krisis struktural yang mengganggu nilai kebangsaan dan jati diri.

Judi Online sebagai Ancaman Moral: Ketika Pancasila Mulai Pudar

Pancasila seharusnya menjadi pedoman etis bagi masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Namun, meningkatnya praktik judi online menunjukkan adanya jurang yang semakin lebar antara nilai Pancasila dan realitas.

  1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
    Hampir semua agama melarang judi. Ketika generasi muda menjadikannya hiburan biasa, ini menandakan menurunnya kesadaran spiritual.
  2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
    Kecanduan judi merusak martabat pribadi dan dapat mendorong tindakan tidak etis seperti mencuri, berbohong, atau meminjam tanpa tanggung jawab.
  3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
    Dampak judi merusak hubungan keluarga dan memicu konflik. Jika generasi muda rusak secara moral, daya rekat sosial bangsa juga terancam.
  4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
    Judi mendorong keputusan impulsif tanpa pertimbangan, bertentangan dengan nilai musyawarah dan kebijaksanaan.
  5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
    Judi memperparah ketimpangan. Banyak anak muda jatuh dalam hutang, kehilangan tabungan, bahkan menjerumuskan keluarganya ke kemiskinan.

Dengan demikian, maraknya judi online bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman yang menggerogoti lima sila sekaligus.

Mengapa Generasi Z Rentan? Analisis Sosial-Budaya

Generasi Z bukan sepenuhnya salah. Mereka hidup pada era yang berbeda secara fundamental dari generasi sebelumnya. Beberapa faktor sosiologis yang membuat mereka rentan antara lain:

  1. Normalisasi budaya instan
    Semua hal dianggap harus cepat: belajar cepat, viral cepat, kaya cepat. Judi menawarkan “kecepatan” itu, meski hanya ilusi.
  2. Kelengahan keluarga dan lingkungan
    Orang tua banyak yang kurang memantau aktivitas digital anak, sementara paparan konten berbahaya terus meningkat.
  3. Penurunan literasi digital moral
    Mereka mahir teknologi, namun tidak selalu memiliki ketahanan moral digital untuk menolak konten manipulatif.
  4. Minimnya pendidikan karakter yang relevan
    Pendidikan moral sering hanya berupa hafalan, bukan pembiasaan nilai dalam konteks kehidupan digital.

Menghidupkan Kembali Pancasila di Era Digital

Untuk mencegah krisis moral semakin dalam, diperlukan upaya komprehensif agar Pancasila kembali menjadi pedoman hidup generasi muda:

  1. Pendidikan Pancasila yang aplikatif
    Menggunakan studi kasus nyata seperti judi online, hoaks, atau cyberbullying agar nilai lebih mudah dipahami dan diterapkan.
  2. Penguatan ketahanan moral digital
    Generasi muda perlu dibekali kemampuan memfilter konten dan mengendalikan diri dalam penggunaan teknologi.
  3. Peran keluarga sebagai benteng moral
    Komunikasi terbuka dan pendampingan digital harus menjadi kebiasaan.
  4. Regulasi dan penegakan hukum yang tegas
    Pemerintah harus menindak situs judi online dan membatasi iklan terselubung.
  5. Menghadirkan teladan moral
    Influencer dan figur publik perlu mengambil peran positif dalam membentuk perilaku generasi muda.

Kesimpulan

Krisis moral digital akibat maraknya judi online merupakan ancaman serius bagi karakter bangsa dan masa depan Generasi Z. Ketika nilai Pancasila mulai memudar dalam perilaku, yang terancam bukan hanya moral individu, tetapi juga masa depan Indonesia sebagai bangsa bermartabat.

Generasi Z adalah harapan bangsa. Namun tanpa ketahanan moral, mereka dapat terseret arus digital yang destruktif. Karena itu, keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat harus bekerja bersama membangun ekosistem digital yang sehat dan beradab.

Hanya dengan menghidupkan kembali Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Indonesia dapat terhindar dari krisis moral yang lebih besar dan memastikan generasi mendatang memiliki jati diri, karakter, dan masa depan yang cerah.

Penulis:
Alya Tri Paudiyah
Mahasiswa Semester 1
Mata Kuliah Pancasila
Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA