Gerakan “Selamatkan Pangan” Resmi Diluncurkan LPLH-SDA MUI

waktu baca 4 menit
Kamis, 28 Agu 2025 23:52 8 Nazwa

JAKARTA | BD – Di tengah ancaman darurat pangan global, gerakan penyelamatan makanan semakin dipandang sebagai langkah krusial. Upaya ini bukan hanya dapat mengatasi persoalan kelaparan yang masih dialami jutaan orang di dunia, tetapi juga menjadi solusi dalam menekan emisi gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim. Karena itu, ide penyelamatan pangan kini mulai mendapatkan perhatian besar dalam berbagai kebijakan, termasuk di Indonesia.

Komitmen tersebut ditegaskan lewat peluncuran Policy Draft Selamatkan Pangan yang digagas Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI). Acara peluncuran yang berlangsung di Jakarta, Kamis (28/8), ini merupakan hasil kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang saat ini sedang mengembangkan Waste Crisis Center sebagai respon terhadap meningkatnya darurat sampah nasional.

Ketua LPLH-SDA MUI, Dr. Hayu Prabowo, menjelaskan bahwa persoalan pangan tidak sekadar menyangkut sisi teknis, tetapi juga terkait dengan dimensi moral, sosial, dan spiritual. Menurutnya, setiap butir makanan yang terbuang adalah bentuk pemborosan (tabdzir dan israf) yang jelas dilarang dalam ajaran agama. Karena itu, penyelamatan pangan harus dipandang sebagai kewajiban keagamaan sekaligus tanggung jawab sosial demi menjaga keberlanjutan hidup di bumi.

“Setiap butir nasi yang terbuang merupakan bentuk pemborosan yang tidak dibenarkan agama. Menyelamatkan pangan berarti menjalankan kewajiban moral, sosial, dan ibadah, sekaligus menjaga keberkahan Allah atas bumi ini,” tegas Hayu.

Indonesia sendiri tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat pemborosan makanan terbesar di dunia. Berdasarkan data Bappenas tahun 2021, jumlah food loss and waste (FLW) mencapai 23–48 juta ton per tahun atau sekitar 115–184 kilogram per kapita. Sementara itu, laporan The Economist menempatkan Indonesia di posisi kedua secara global, dengan rata-rata 300 kilogram makanan terbuang per orang setiap tahun.

Hayu menguraikan, jumlah pangan yang hilang tersebut sebenarnya cukup untuk memberi makan hingga 125 juta jiwa setiap tahunnya. Namun, yang lebih memprihatinkan, sampah makanan juga menyumbang sekitar 7,29 persen emisi gas rumah kaca nasional. Hal ini menunjukkan bahwa pemborosan pangan bukan hanya memperburuk krisis iklim, tetapi juga menambah beban berat bagi sistem pengelolaan sampah di tanah air.

Sejalan dengan itu, Staf Ahli Bidang Kelestarian Sumber Daya Keanekaragaman Hayati dan Sosial Budaya KLH, Noer Adi Wardojo, menegaskan komitmen pemerintah dalam memperkuat kebijakan pengelolaan sampah organik. Salah satu arah kebijakan tersebut adalah mengolah sampah menjadi pupuk organik dan pembenah tanah yang mendukung tercapainya swasembada pangan berkelanjutan. Di sisi lain, langkah ini juga bertujuan mencegah terbuangnya makanan yang masih layak konsumsi.

Namun, keberhasilan strategi penyelamatan pangan tidak bisa berjalan tanpa kolaborasi. Diperlukan sinergi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, tokoh agama, media, organisasi masyarakat sipil, hingga rumah tangga. Dengan kerja sama yang terintegrasi, diharapkan muncul budaya konsumsi yang lebih bijak, beretika, dan bertanggung jawab.

Paradigma Baru dalam Gerakan Selamatkan Pangan

Policy Draft Selamatkan Pangan membawa perspektif baru dalam menyikapi makanan berlebih. Makanan tidak lagi dianggap sebagai limbah, melainkan sebagai sumber daya berharga yang bisa dimanfaatkan untuk menolong sesama, mengurangi tekanan terhadap lingkungan, serta memperkuat ketahanan pangan nasional. Paradigma ini menekankan tiga pilar utama: nilai kemanusiaan, keberlanjutan, dan ketaatan agama.

Dokumen tersebut menawarkan sejumlah langkah konkret, mulai dari regulasi yang lebih tegas, pemberian insentif ekonomi, penguatan jejaring antar lembaga, hingga kampanye nasional bertajuk “Selamatkan Pangan – Selamatkan Masa Depan”. Melalui pendekatan ini, Indonesia berupaya mengubah pola pikir masyarakat agar lebih menghargai makanan sebagai berkah yang tidak boleh disia-siakan.

Selain itu, Policy Draft ini juga merujuk pada Fatwa MUI No. 41/2014 yang menyatakan bahwa membuang sesuatu yang bermanfaat, termasuk makanan, adalah perbuatan haram. Dengan demikian, gerakan penyelamatan pangan tidak hanya soal efisiensi dan keberlanjutan, tetapi juga menyangkut kewajiban syar’i yang harus dijalankan oleh umat Muslim.

“Mengelola pangan bukan sekadar perkara teknis. Ini menyangkut moralitas, keadilan sosial, kelestarian lingkungan, sekaligus perintah agama. Karena itu, isu pangan harus ditempatkan dalam kerangka multidimensi: sosial, ekologis, ekonomi, dan spiritual,” ujar Hayu.

Saat ini Indonesia berada di titik krusial, di mana di satu sisi menjadi negara dengan tingkat limbah makanan tinggi, namun di sisi lain masih menghadapi ancaman kerawanan pangan. Gerakan Selamatkan Pangan (GERSEP) diharapkan dapat mengubah situasi tersebut, dengan menjadikan surplus makanan bukan sebagai beban lingkungan, melainkan sebagai aset sosial untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

“Dengan menyelamatkan pangan, kita tidak hanya menyelamatkan bumi, tetapi juga menolong sesama serta menunaikan nilai keimanan. Gerakan ini merupakan langkah nyata menuju bangsa yang lebih adil, berkelanjutan, dan diridhoi Tuhan,” tutup Hayu. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA