Ijad, Imdad, dan Faqoh: Menginsafi Kelemahan Manusia dan Kebesaran Allah

waktu baca 4 menit
Selasa, 18 Nov 2025 09:57 45 Nazwa

RELIGI | BD — Dalam perjalanan hidup, manusia sering kali merasa mampu berdiri sendiri. Kita cenderung percaya bahwa kekuatan, keterampilan, dan kecerdasan adalah hasil usaha pribadi. Namun bila diselami lebih dalam, seluruh eksistensi manusia sesungguhnya bertumpu pada dua nikmat yang tak pernah terputus: nikmat ijad dan imdad. Dan di antara keduanya, ada satu kenyataan yang menjadi poros utama kehidupan kita—faqoh, atau kebutuhan mutlak seorang hamba kepada Tuhannya.

Ketiga konsep ini bagai tiga simpul yang saling mengait, yang bila direnungi menyingkap betapa lemahnya manusia dan betapa besarnya Allah.

Nikmat Ijad : Keberadaan yang Tidak Kita Usahakan

Nikmat pertama adalah ijad, yakni kenikmatan karena dijadikan ada. Kita hadir di dunia bukan karena kehendak kita sendiri. Kita tidak memilih kapan dan di mana dilahirkan, siapa orang tua kita, apa warna kulit, bentuk tubuh, atau kemampuan dasar yang kita bawa sejak lahir.

Sebelum menjadi makhluk yang bernafas, kita adalah kehampaan yang tidak memiliki kemungkinan apa pun.

Namun Allah berkehendak—dan kita ada.

Betapa manusia sering lupa bahwa keberadaannya merupakan pemberian terbesar, yang tidak pernah ia minta dan tidak pernah ia usahakan. Dari tiada menjadi ada adalah bukti paling nyata dari kemurahan Allah, bahkan sebelum manusia bisa bersyukur.

Nikmat Imdad : Pertolongan Tanpa Henti yang Mengalir Setiap Detik

Setelah menciptakan, Allah tidak membiarkan ciptaan-Nya berjalan sendiri. Di sinilah hadir nikmat imdad, yaitu bantuan, suplai, dan pemenuhan kebutuhan yang terus-menerus diberikan Allah agar makhluk dapat bertahan hidup.

Nikmat ini tak terhitung banyaknya.

Kita menghirup oksigen setiap detik tanpa membayar. Rambut, alis, bulu mata, dan semua organ tubuh diciptakan dengan fungsinya masing-masing. Bumi, air, tumbuhan, hewan, udara, dan segala fenomena alam bekerja untuk menopang kehidupan manusia. Tidak satu pun dari kita mampu menciptakan oksigen, menumbuhkan sehelai rambut, atau mengatur detak jantung sendiri.

Satu detik saja Allah menghentikan imdad-Nya, manusia binasa.

Namun karena imdad datang begitu teratur dan terus-menerus, kita menganggapnya wajar, seolah memang kita layak mendapatkannya. Padahal seluruh keberlangsungan hidup adalah hadiah yang dikucurkan tanpa henti oleh Yang Maha Mengurus.

Faqoh: Kebutuhan Mutlak Kita kepada Allah

Faqoh berasal dari syiddatul ihtiyaj—kebutuhan yang sangat kuat. Secara lahir, faqoh tampak ketika manusia berada dalam kesulitan: diuji masalah keluarga, kehilangan pekerjaan, dikhianati pasangan, ditimpa sakit, atau menghadapi tekanan yang membuat hati sesak.

Dalam keadaan terhimpit seperti ini, barulah manusia menyadari bahwa dirinya lemah, rapuh, dan tidak memiliki tempat berlindung kecuali Allah.

Namun sejatinya, faqoh bukan hanya muncul ketika terjadi musibah. Faqoh adalah keadaan asli manusia setiap detik. Bahkan ketika kita merasa “baik-baik saja”, kita tetap faqoh kepada Allah—karena kita tetap bernafas, bergerak, dan hidup dengan imdad-Nya. Kita tetap butuh perlindungan-Nya agar jantung tidak berhenti berdetak, agar otak tidak berhenti bekerja, agar kehidupan tidak padam dalam sekejap.

Inilah faqoh yang sesungguhnya: kesadaran bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri, bahkan satu helaan nafas pun tidak bisa kita lakukan tanpa izin-Nya.

Mengapa Allah Datangkan Sebab-Sebab yang Menghimpit?

Manusia sering lupa bahwa ia faqoh. Rasa mampu, gelar, kekayaan, jabatan, dan kenyamanan membuat kita merasa mandiri. Karena itu Allah datangkan dzuruf al-asbab—berbagai peristiwa yang menghimpit—sebagai penanda agar kita kembali ingat kepada watak asli kita: bahwa kita adalah makhluk yang selalu membutuhkan-Nya.

Masalah bukan hukuman.
Masalah adalah panggilan.
Masalah adalah tanda cinta Allah agar kita pulang.

Dengan dibenturkan pada keadaan yang tak bisa diatasi oleh kekuatan manusia, Allah menunjukkan bahwa tempat bergantung hanya satu: Dia sendiri.

Pengikat Hubungan Hamba dan Tuhan

Ijad membuat kita sadar bahwa kita ada karena Allah.
Imdad membuat kita sadar bahwa kita bertahan hidup karena Allah.
Faqoh membuat kita sadar bahwa kita membutuhkan Allah setiap saat.

Tiga hal ini adalah simpul yang mengikat hubungan hamba dan Tuhannya. Melalui ketiganya, manusia memahami bahwa dirinya hanyalah makhluk lemah, sementara Allah adalah Dzat yang Mahabesar, Maha Memelihara, Maha Kuat, dan Maha Cukup.

Semakin dalam kita mengenali ijad, imdad, dan faqoh, semakin teguh pula keyakinan bahwa hidup ini bukan tentang kemampuan kita, melainkan tentang kasih dan pertolongan Allah yang tidak pernah berhenti mengalir.

Pada akhirnya, kesempurnaan seorang hamba bukan terletak pada kekuatan dirinya, melainkan pada kesadarannya bahwa ia tidak kuat tanpa Allah. Dan ketika manusia kembali kepada Allah dengan kesadaran kebutuhan total ini, di situlah ia mendekati hakikat wushul: merasa dekat, bergantung penuh, dan berserah secara total kepada Sang Pencipta. Wallahu a’lam bish-shawab.

Resume kajian Al Hikam Majelis Dzikir Abah-Qu 37 Tangerang, Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah Pontren Suryalaya Tasikmalaya
Pembimbing: Ustad Ali Wardana
Peresume Kajian: Al Faqir

Kajian Kitab Al Hikam dan Miftahussudur berlangsung setiap Selasa malam, mulai pukul 21.00 WIB s.d selesai di Majelis Dzikir Abah-Qu 37. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA