Keadilan Sosial dan Politik Islam: Saat Idealisme Tergantikan Ambisi Kekuasaan

waktu baca 4 menit
Rabu, 29 Okt 2025 10:24 133 Nazwa

OPINI | BD — Di balik gemerlapnya politik berlabel Islam dan menjamurnya lembaga keuangan syariah, masih banyak umat yang hidup dalam kesenjangan dan kemiskinan. Ironisnya, di saat jargon “politik Islam” begitu sering dikumandangkan, nilai-nilai keadilan sosial yang menjadi inti ajarannya justru semakin kabur.

Pertanyaannya: mengapa ekonomi Islam yang digadang-gadang membawa kesejahteraan justru belum mampu menyejahterakan umat? Apakah karena sistemnya yang belum sempurna, atau karena politik Islam telah kehilangan arah idealismenya?

Fenomena ini menyingkap kenyataan pahit: bahwa idealisme Islam seringkali kalah oleh pragmatisme kekuasaan. Agama dijadikan alat retorika, bukan sumber moral dalam merumuskan kebijakan publik. Padahal, misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin menuntut agar politik dan ekonomi berjalan beriringan untuk menciptakan kesejahteraan bersama, bukan memperkaya segelintir elit.

Politik Islam: Dari Gerakan Moral Menjadi Perebutan Kekuasaan

Secara konseptual, politik Islam seharusnya menjadi jalan untuk menghadirkan kemaslahatan, membela yang lemah, dan menegakkan keadilan ekonomi. Namun realitas menunjukkan sebaliknya. Partai-partai Islam kerap terjebak dalam pragmatisme, menjadikan isu-isu simbolik seperti perda syariah dan slogan moralitas sebagai alat meraih suara, tanpa menyentuh akar persoalan ekonomi umat.

Padahal, politik Islam idealnya menjadi ruang dakwah untuk memperjuangkan pemerataan, kejujuran, dan amanah dalam pengelolaan sumber daya publik. Ketika orientasi politik bergeser dari misi moral ke ambisi kekuasaan, maka ruh Islam dalam politik menjadi hampa. Umat hanya dijadikan alat kampanye, bukan subjek pembangunan.

Ekonomi Islam yang Terjebak dalam Struktur Kapitalistik

Meski lembaga-lembaga keuangan syariah berkembang pesat, banyak di antaranya masih terperangkap dalam sistem kapitalistik. Prinsip syariah sering kali berhenti di tataran administratif, bukan substansi keadilan sosial.

Contohnya, sistem bagi hasil yang seharusnya menumbuhkan kemitraan justru digantikan oleh skema margin tetap menyerupai bunga. Akibatnya, ekonomi Islam kehilangan wataknya sebagai alternatif terhadap kapitalisme, dan hanya menjadi versi “berlabel religius” dari sistem ekonomi lama yang eksploitatif.

Politik yang seharusnya menjadi penopang ekonomi umat malah gagal menghadirkan keberpihakan. Kebijakan publik kerap memihak pemilik modal, bukan rakyat kecil. Akibatnya, potensi besar zakat, wakaf, dan ekonomi syariah produktif tak berkembang optimal sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan.

Elitisme dan Komodifikasi Agama

Salah satu penyebab utama stagnasi ekonomi umat adalah munculnya elitisme politik yang membungkus kepentingan ekonomi dengan narasi keislaman. Agama dijadikan alat legitimasi, bukan landasan moral untuk menegakkan keadilan.

Kita sering mendengar jargon “ekonomi syariah” dijadikan bahan kampanye atau simbol pencitraan. Tetapi di balik itu, strategi nyata untuk membenahi ketimpangan ekonomi nyaris tak ada. Akibatnya, ekonomi Islam gagal menjadi gerakan pembebasan bagi umat dan malah ikut melanggengkan ketimpangan struktural.

Padahal, hakikat ekonomi Islam adalah membangun masyarakat madani yang bebas dari eksploitasi. Ketika agama dikomodifikasi, maka Islam kehilangan fungsi transformatifnya: mengubah struktur sosial menjadi lebih adil dan beradab.

Solusi: Menghidupkan Kembali Ruh Politik Islam

Untuk mewujudkan keadilan sosial yang sesungguhnya, politik Islam harus direkonstruksi menjadi gerakan nilai, bukan perebutan kekuasaan. Prinsip al-‘adl (keadilan) dan maslahah (kesejahteraan umum) mesti menjadi fondasi utama setiap kebijakan politik dan ekonomi.

Pemerintah dan lembaga keislaman perlu bersinergi memperkuat ekonomi umat melalui:

  • Optimalisasi zakat produktif dan wakaf produktif.
  • Pemberdayaan UMKM berbasis komunitas masjid.
  • Regulasi ekonomi yang mencegah monopoli dan eksploitasi sumber daya alam.

Selain itu, umat Islam harus berani menuntut akuntabilitas politik. Pemimpin yang amanah bukan diukur dari simbol religiusitas, tetapi dari komitmen nyata dalam menegakkan keadilan sosial-ekonomi—sebagaimana ajaran Rasulullah SAW yang menempatkan pemimpin sebagai khalifah fil-ardh, pemakmur bumi, bukan penguasa atasnya.

Penutup: Keadilan Sosial sebagai Amanah yang Belum Tersampaikan

Keadilan sosial yang dijanjikan Islam masih menjadi janji yang tertunda. Politik Islam belum sepenuhnya menjadi pelindung bagi nilai-nilai ekonomi syariah. Selama politik hanya berorientasi elektoral dan ekonomi Islam dijadikan label komersial, umat akan tetap menjadi penonton dalam panggung pembangunan.

Sudah saatnya Islam kembali ke akar moralnya—menjadikan kekuasaan sebagai amanah, harta sebagai sarana kemaslahatan, dan masyarakat sebagai penerima manfaat dari keadilan.

Hanya dengan menyatukan politik dan ekonomi dalam satu visi keadilan sosial, Islam akan kembali tampil sebagai kekuatan pembebas yang menegakkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Penulis: M. Zaki Amrullah, mahasiswa semester 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA