Kearifan Mengelola Perubahan Sosial: Relevansi Pemikiran Selo Soemardjan di Era Disrupsi

waktu baca 4 menit
Selasa, 18 Nov 2025 12:16 47 Nazwa

OPINI | BD — Perubahan sosial bukan sekadar fenomena yang datang dan pergi. Ia adalah denyut kehidupan masyarakat yang terus bertransformasi mengikuti perkembangan ekonomi, teknologi, dan budaya. Namun sejarah juga menunjukkan: perubahan yang tidak dikelola dengan bijaksana dapat berujung pada kekacauan sosial. Di sinilah pemikiran Selo Soemardjan—salah satu sosiolog terpenting Indonesia—menjadi kembali relevan, terutama di tengah derasnya arus disrupsi digital yang hari ini mengguncang hampir seluruh sendi kehidupan.

Dalam pandangan Selo Soemardjan, perubahan sosial merupakan perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berimplikasi pada sistem sosial dan nilai-nilai yang mengatur perilaku masyarakat. Artinya, perubahan tidak pernah berdiri sendiri. Ketika teknologi berkembang pesat, misalnya, maka etika, norma, dan pola hubungan sosial pun ikut mengalami transformasi. Pandangan ini menegaskan bahwa perubahan sosial bukan fenomena mekanis, melainkan fenomena nilai. Di sinilah letak urgensinya: perubahan harus dipahami, dikelola, dan diarahkan agar tidak justru merusak tatanan sosial yang ada.

Ketika Perubahan Lebih Cepat dari Kesiapan Nilai

Jika mengikuti cara berpikir Selo Soemardjan, problem utama masyarakat modern bukanlah perubahan itu sendiri, melainkan kecepatan perubahan yang tidak seimbang dengan kemampuan manusia dalam menata kembali nilai-nilai sosial. Era digital adalah contoh paling jelas. Teknologi berkembang dalam hitungan bulan, bahkan minggu. Namun kesiapan moral, etika komunikasi, dan tata kelola sosial sering kali tertinggal jauh di belakang.

Fenomena ini kemudian melahirkan bentuk-bentuk disorganisasi sosial:

  • lunturnya etika digital,
  • maraknya polarisasi media sosial,
  • pudarnya rasa hormat antar generasi,
  • melemahnya ikatan komunitas,
  • meningkatnya kasus penipuan digital, kekerasan siber, dan kejahatan berbasis teknologi.

Inilah kondisi yang dulu telah diantisipasi Selo Soemardjan: ketika nilai lama melemah dan nilai baru belum terinternalisasi, masyarakat berada dalam ruang liminal—ruang antara keteraturan dan kekacauan. Tanpa manajemen perubahan sosial yang baik, ruang ini dapat melahirkan kegelisahan kolektif dan ketidakpastian moral.

Peran Lembaga Sosial sebagai Penyangga Stabilitas

Salah satu gagasan penting Selo Soemardjan adalah bahwa lembaga sosial memiliki fungsi menjaga keseimbangan perubahan. Keluarga, agama, pendidikan, komunitas lokal, dan negara adalah pilar-pilar yang seharusnya menopang masyarakat dalam menghadapi modernisasi.

Tetapi lembaga sosial tidak boleh kaku. Mereka harus adaptif, merespons perkembangan zaman, tetapi tidak kehilangan esensi nilai-nilai dasarnya. Misalnya:

  1. Keluarga perlu menanamkan literasi digital dan nilai tanggung jawab dalam penggunaan teknologi.
  2. Pendidikan harus mengajarkan etika digital, literasi media, serta kemampuan berpikir kritis.
  3. Agama dapat memperkuat landasan moral di tengah kehidupan serbadigital yang serba instan.
  4. Pemerintah perlu memastikan bahwa perubahan teknologi selaras dengan perlindungan sosial dan keadilan.

Ketika lembaga-lembaga ini berjalan harmonis, perubahan sosial tidak menjadi ancaman, melainkan peluang.

Ilmu Sosial sebagai Kompas Perubahan

Dalam pandangan Selo Soemardjan, ilmu sosial tidak hanya hadir untuk menganalisis fenomena masyarakat, tetapi juga menjadi instrumen untuk mengarahkan perubahan sosial. Ini adalah pesan penting bagi Indonesia hari ini. Kita hidup di tengah gelombang globalisasi dan teknologi yang sering mengedepankan efisiensi, kecepatan, dan kompetisi, namun mengabaikan aspek kemanusiaan.

Kehadiran ilmu sosial dapat menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak boleh hanya memikirkan aspek material, tetapi juga mengutamakan:

  • Integritas sosial,
  • Keadilan,
  • Kemanusiaan,
  • Serta kelestarian budaya.

Tanpa panduan nilai sosial, kebijakan publik sering terjebak pada pendekatan teknokratis yang kering dan jauh dari kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial.

Mengelola Perubahan dengan Kearifan Lokal

Indonesia memiliki kekayaan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan solidaritas sosial. Nilai-nilai inilah yang dapat menjadi fondasi dalam pengelolaan perubahan. Pemikiran Selo Soemardjan selaras dengan ide bahwa perubahan bukan berarti meninggalkan identitas. Perubahan yang baik adalah perubahan yang tetap berpijak pada akar budaya namun terbuka terhadap inovasi.

Dengan memadukan kearifan lokal dan ilmu sosial, Indonesia dapat mengelola modernisasi tanpa kehilangan jati diri. Transformasi digital, misalnya, dapat diarahkan untuk memperkuat solidaritas, bukan sekadar memperlancar transaksi ekonomi. Pendidikan berbasis teknologi dapat dikembangkan untuk memperluas akses, bukan untuk memperdalam kesenjangan.

Relevansi Pemikiran Selo Soemardjan di Era Kini

Ketika Selo Soemardjan mengatakan bahwa masyarakat yang mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri adalah masyarakat yang mampu bertahan, ia sesungguhnya mengingatkan kita bahwa perubahan harus memiliki arah. Arah itu adalah kemanusiaan. Modernisasi yang mengabaikan nilai manusia akan melahirkan dislokasi identitas dan krisis moral.

Masyarakat Indonesia hari ini membutuhkan pendekatan perubahan yang mengombinasikan:

  • ilmu pengetahuan,
  • etika sosial,
  • kearifan budaya,
  • serta kebijakan yang berpihak pada keadilan.

Itulah inti ajaran Selo Soemardjan: perubahan adalah peluang, tetapi hanya menjadi berkah jika dikelola dengan kearifan.

Penulis: Taufik Safar (Mahasiswa Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang PSDKU Serang.)
Dosen Pembimbing: Angga Rosidin, S.I.P., M.A.P.,
Kepala Program Studi: Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA