Menggeser Pusat: Dari Kepala Manusia ke Hadirat Allah

waktu baca 3 menit
Jumat, 14 Nov 2025 11:47 8 Nazwa

KOLOM | BD — Antroposentrisme selalu lahir dari satu ilusi sederhana: bahwa manusia adalah pusat segala kemungkinan. Bahwa dunia ini semestinya mengatur diri sesuai petunjuk hawa nafsu kita—seperti panggung yang hanya hidup ketika kita muncul. Kita memandang kesadaran sebagai mahkota, padahal sering kali ia hanyalah ego berjubah logika.

Manusia menumpuk keyakinan bahwa alam semesta bekerja demi dirinya. Para filsuf lama mencatat pendapat itu dengan tinta tebal, dan kita mewarisinya tanpa pertanyaan. Kita membayangkan kepala kita sebagai matahari, sementara yang lain hanyalah planet-planet kecil yang wajib beredar mengikuti garis takdir yang kita buat sendiri.

Namun, jika diam sejenak, kita akan sadar: posisi itu terlalu tinggi untuk makhluk yang napasnya pun bisa patah kapan saja. Kita hanyalah sebutir debu yang sempat diberi kesadaran sebentar, lalu dikembalikan kepada malam panjang yang tak kita mengerti. Kita bukan pusat; kita bahkan tak mampu menjadi poros bagi diri sendiri.

Di sinilah teosentrisme muncul, bukan sebagai istilah akademis yang kaku, tetapi sebagai koreksi keheningan. Menempatkan Allah sebagai pusat bukan sekadar ide teologis, melainkan bentuk kesopanan ontologis—pengakuan bahwa realitas terlalu agung untuk dikecilkan menjadi cerita tentang manusia semata.

Teosentrisme mengajari kita bahwa pusat kehidupan bukanlah kepala kita, melainkan Dia yang menghidupkan kepala itu.
Dunia tidak berputar mengitari ego kita; dunia berputar dalam ritme yang sudah ditetapkan-Nya jauh sebelum kita sempat menebak-nebak maknanya.

Dengan cara pandang ini, hidup berubah.
Ambisi tak lagi menjadi tuhan kecil.
Prestasi tak lagi berfungsi sebagai altar.
Keinginan tak lagi menggertak takdir.

Yang tersisa adalah perjalanan yang lebih lapang: perjalanan hamba. Manusia yang tahu diri, tahu batas, tahu arah. Kita berjalan bukan untuk menguasai dunia, tetapi untuk mengingat kembali siapa Pemilik dunia itu.

Teosentrisme bukan penghapusan manusia; justru di situ manusia menemukan tempatnya yang paling utuh. Ketika Allah menjadi pusat, kita berhenti memaksakan diri menjadi matahari dan rela kembali menjadi bintang kecil yang memantulkan cahaya. Dan bintang kecil pun punya keindahan yang tak kalah memikat—asal ia tahu dari mana cahaya itu berasal.

Pada akhirnya, melawan antroposentrisme bukanlah perang melawan manusia, tetapi melawan bayangannya sendiri. Keangkuhan halus yang membuat kita percaya bahwa isi kepala kita lebih penting daripada kehendak semesta.

Dengan menempatkan Allah kembali di titik pusat, kita membongkar ilusi itu. Kita merobohkan menara ego yang dibangun para pemikir besar maupun penghayal kecil. Kita melepaskan ambisi menjadi pusat, agar bisa kembali menjadi makhluk yang diciptakan—ringkas, lemah, dan justru karena itu sangat dekat dengan-Nya.

Dan mungkin, justru di situ manusia menemukan keagungannya yang paling sejati: bukan sebagai penguasa semesta, tetapi sebagai hamba yang akhirnya mengerti ke mana dirinya harus berputar. (Tim Redaksi)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA