JAKARTA | BD — Indonesia tidak hanya ingin menjadi pasar bagi teknologi asing. Melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), pemerintah mendorong terciptanya Sovereign AI yang Berdaulat, model kecerdasan buatan yang dikembangkan sesuai kebutuhan nasional dan mampu memperkuat posisi Indonesia di percaturan teknologi global.
Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, menegaskan bahwa arah pengembangan AI harus selaras dengan kepentingan nasional. “Yang paling penting adalah kita jangan menjadi budaknya AI, tapi harus menjadi tuannya. Kita jangan hanya menonton, menjadi pasar, tapi harus jadi pemain,” ujarnya dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) NgobrolINdonesia bertema ‘Kecerdasan Artifisial: Jembatan Menuju Indonesia Emas’, Selasa (25/11).
Pemerintah telah menyusun Peta Jalan Nasional AI dan Pedoman Etika AI melalui kolaborasi berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian, lembaga pemerintah, industri, komunitas masyarakat sipil, hingga peneliti AI. Dokumen strategis ini melengkapi kerangka hukum lain, seperti UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), Permenkominfo tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), dan ketentuan hak cipta, agar pengembangan dan pemanfaatan AI berada dalam jalur regulasi yang konsisten.
Nezar menekankan pentingnya kedaulatan teknologi di tengah percepatan pesat AI global. Dalam dua tahun terakhir, kemampuan generative AI berkembang jauh lebih cepat daripada prediksi, sementara fitur baru terus muncul setiap enam bulan, mendorong persaingan global dalam data center, GPU, dan computing power.
Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan model asing yang belum tentu relevan dengan konteks nasional. Di sisi lain, kesiapan masyarakat memanfaatkan AI juga menjadi kunci. Literasi digital publik menjadi fondasi agar teknologi digunakan secara sadar dan bertanggung jawab.
Melalui program Digital Talent Scholarship, iCall Center, dan AI Talent Factory, Komdigi menyiapkan pelatihan bagi talenta yang tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pengembang dan perancang AI. AI Talent Factory saat ini berjalan di Universitas Brawijaya dan akan diperluas ke Universitas Gajah Mada, ITB, Universitas Indonesia, serta kampus lain pada 2025.
Literasi AI juga mulai didorong sejak pendidikan dasar dan menengah. Nezar menekankan pentingnya kurikulum yang membuat siswa memahami teknologi secara menyeluruh. “Anak-anak perlu diajarkan cara kerja AI, dibentuk awareness, dan dilatih berpikir kritis. Mereka hidup di masa ketika teknologi ini sangat dominan,” imbuhnya.
Penggunaan AI tanpa kemampuan kritis berisiko mengurangi esensi belajar. Selain itu, AI menghadirkan tantangan besar, seperti keamanan data, disinformasi, dan manipulasi visual. Risiko muncul karena model AI bekerja dari data yang diberikan pengguna. Foto pribadi atau dokumen sensitif dapat muncul kembali di tempat lain, termasuk wajah mirip pengguna dalam konten generatif.
Ancaman terbesar datang dari deepfake, konten palsu yang dibuat AI dengan kualitas sangat realistis, yang bisa disalahgunakan untuk pornografi, ujaran kebencian, atau manipulasi politik. “Deepfake punya dampak besar karena bisa meniru wajah dan suara kita, bahkan menggambarkan seseorang dalam konteks yang tidak pernah dilakukan,” katanya.
Untuk menanggulangi risiko ini, pemerintah memperkuat kolaborasi dengan platform digital, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga terkait. Platform didorong menyediakan alat deteksi konten AI dan standar content authentication berbasis metadata, agar publik dapat membedakan konten asli dan manipulatif.
Nezar menekankan, adopsi AI harus dipandang sebagai perjalanan kolektif menuju ekonomi digital Indonesia. Dengan ‘Sovereign AI yang Berdaulat’, Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi pasar bagi teknologi asing, tetapi juga menjadi pemain penting dalam percaturan global, dari infrastruktur hingga algoritma.
“Kita harus menciptakan AI yang berdaulat, menguasai teknologinya, bukan hanya menjadi penonton. Ini bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk memastikan Indonesia punya posisi strategis di percaturan teknologi global,” pungkasnya. (*)
