Ilustrasi oleh BantenDaily.idKOLOM| BD — Di tengah derasnya informasi dan tuntutan hidup modern, kita sering terjebak dalam pola hidup otomatis: bangun, bekerja, pulang, tidur. Siklus itu terus berulang tanpa jeda refleksi. Banyak orang merasa lelah, tetapi tidak tahu dari mana letih itu berasal. Di titik inilah, kita perlu melihat bahwa persoalan manusia bukan hanya soal fisik atau ekonomi, tetapi juga soal kesadaran—cara kita memahami diri dan dunia.
Dua bentuk kesadaran yang sering luput diperbincangkan namun sangat menentukan kualitas hidup adalah kesadaran eksistensial dan kesadaran transendental. Keduanya tidak hanya relevan, tetapi mendesak untuk dipahami agar kita tidak terombang-ambing oleh tekanan hidup modern.
Alasan pertama mengapa kesadaran eksistensial penting adalah karena hidup modern membuat banyak orang kehilangan kendali atas pilihannya sendiri.
Kita mudah terjebak dalam:
Tanpa kesadaran eksistensial, manusia berubah menjadi penumpang dalam hidupnya sendiri. Mereka bergerak, tetapi tidak benar-benar mengarahkan ke mana harus melangkah.
Kesadaran eksistensial menuntut kita bertanya:
Mengapa aku melakukan ini?
Apakah ini benar-benar keinginanku?
Apa konsekuensinya bagi diriku dan orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar refleksi filosofis—ini adalah dasar dari keputusan sehat. Tanpanya, kebebasan hanya menjadi slogan kosong. Dengan kesadaran eksistensial, kita kembali menjadi subjek yang memilih, bukan objek yang digerakkan keadaan.
Jika kesadaran eksistensial menyentuh persoalan pilihan, maka kesadaran transendental menyentuh akar yang lebih dalam: bagaimana kita memberi makna terhadap pengalaman.
Kita hidup di era yang mudah memicu reaksi instan:
Ini terjadi karena kita sering tidak menyadari bahwa pikiran kita memiliki peran besar dalam membentuk realitas. Kesadaran transendental menantang kita untuk melihat ulang cara kita memahami dunia.
Ia mengajak kita bertanya:
Mengapa aku menafsirkan ini sebagai masalah?
Apakah emosi yang aku rasakan benar-benar mencerminkan fakta, atau hanya interpretasi?
Bagaimana pemahaman ini terbentuk sejak awal?
Kesadaran transendental membuat kita tidak mudah goyah. Ia memberi jarak yang sehat antara pengalaman dan respon, sehingga kita tidak terus-menerus hidup secara reaktif. Dalam masyarakat yang cepat tersinggung, cepat emosi, dan cepat lelah secara mental, kemampuan menjaga jarak batin seperti ini adalah kebutuhan mendasar.
Di era digital, beban mental meningkat bukan karena hidup lebih sulit, tetapi karena kita tidak lagi punya ruang untuk memahami diri. Dua kesadaran ini—eksistensial dan transendental—adalah fondasi dari apa yang bisa disebut sebagai kompetensi mental: kemampuan untuk mengenali diri, mengelola makna, dan mengambil keputusan secara sadar.
Tanpa kompetensi ini, kita mudah:
Dengan kompetensi ini, sebaliknya, kita lebih:
Keberanian memilih (eksistensial) dan kejernihan memahami (transendental) adalah dua sayap yang membuat manusia tetap tegak di tengah pusaran dunia modern.
Pada akhirnya, persoalan kita bukan sekadar soal gaji, pekerjaan, atau hubungan personal. Persoalan kita adalah bagaimana kita menyadari hidup yang kita jalani. Tanpa kesadaran eksistensial, kita kehilangan arah. Tanpa kesadaran transendental, kita kehilangan kedalaman.
Keduanya bersama-sama mengembalikan kita pada inti kemanusiaan: menjadi makhluk yang bukan hanya hidup, tetapi mengetahui bahwa ia hidup, dan memilih bagaimana ia ingin menjalani hidup itu.
Di dunia yang semakin cepat, kesadaran bukan lagi kemewahan. Ia adalah kebutuhan agar kita tetap waras, tetap manusia, dan tetap mampu berdiri di atas kaki sendiri—secara penuh dan utuh. (Tim Redaksi)
Tidak ada komentar