Ilustrasi: Gambar dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan oleh BantenDailyKOLOM | BD — Kadang kita terlalu sibuk mengejar masa depan hingga lupa menengok ke belakang — lupa dari mana kita berasal. Di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba cepat, nilai-nilai budaya sering kali terpinggirkan, dianggap tak lagi relevan. Padahal, di dalamnya tersimpan kearifan yang bisa menjadi pegangan hidup.
Salah satu sumber kearifan itu datang dari semboyan Paguyuban Pasundan — organisasi berbasis etnik Sunda yang berdiri sejak 20 Juli 1913. Semboyan itu sederhana, tapi dalam maknanya: nyunda, nyantri, nyakola, dan nyantika.
Empat kata ini mungkin terdengar kuno bagi sebagian orang, namun jika direnungkan, justru di sanalah letak keindahan dan keseimbangannya. Ia mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang utuh — berakar di tanah sendiri, beriman dalam hati, berpikir dengan ilmu, dan berperilaku dengan budi.
Nyunda bukan sekadar soal bahasa atau adat. Lebih dari itu, nyunda adalah rasa — rasa hormat kepada orang tua, rasa empati kepada sesama, rasa sabar dalam menghadapi hidup. Orang Sunda dikenal lemah lembut, someah, jeung ngahargaan kana silih asih, silih asah, silih asuh.
Di masa kini, ketika dunia terasa makin dingin dan individualistik, sikap nyunda menjadi semacam oase. Ia mengingatkan kita untuk tetap manusiawi, tetap punya hati di tengah logika yang kering.
Menjadi nyunda berarti tidak kehilangan jati diri, meski harus berlari mengikuti zaman.
Jika nyunda menata rasa, maka nyantri menata hati.
Menjadi santri bukan hanya soal kitab atau masjid. Lebih dalam dari itu, nyantri adalah tentang bagaimana agama hadir dalam laku hidup sehari-hari — dalam kejujuran, kesederhanaan, dan kasih sayang.
Paguyuban Pasundan menempatkan nilai ini dengan indah: nyantri berarti beragama tanpa fanatisme, beriman tanpa kehilangan akal sehat.
Seorang yang nyantri tahu bahwa beragama bukan untuk merasa paling benar, melainkan untuk terus belajar menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama.
Dalam bahasa Sunda, “ngindung ka waktu, mibapa ka jaman” — mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan arah spiritual.
Tak cukup hanya berakar dan beriman, manusia juga perlu berpikir. Itulah makna nyakola.
Ilmu bukan sekadar bekal mencari pekerjaan, tapi jendela untuk memahami dunia. Orang yang nyakola tidak berhenti belajar, tidak merasa paling tahu.
Dengan ilmu, manusia bisa berdialog dengan zaman dan mengembangkan budaya tanpa tercerabut dari akarnya.
Nyakola mengingatkan bahwa kecerdasan dan kebijaksanaan adalah dua sisi mata uang yang harus berjalan beriringan — sebab ilmu tanpa adab dapat menyesatkan, sedangkan adab tanpa ilmu bisa membutakan.
Dan akhirnya, nyantika.
Kata ini mungkin jarang kita dengar, tapi maknanya begitu halus: menjaga etika, berbudi, dan berperilaku indah.
Di tengah budaya digital yang sering kali kasar dan serba cepat, nyantika mengingatkan kita untuk berhenti sejenak — berbicara dengan santun, mendengar dengan hati, dan bertindak dengan niat baik.
Nyantika bukan sekadar tata krama formal, melainkan rasa hormat yang tumbuh dari kesadaran bahwa kita hidup berdampingan.
Ia adalah seni menjadi manusia — yang membuat hidup tak hanya benar, tetapi juga indah.
Empat nilai ini — nyunda, nyantri, nyakola, dan nyantika — bila dijalankan bersama, menjadi pondasi hidup yang kokoh.
Ia mengajarkan keseimbangan antara budaya dan agama, antara ilmu dan budi, antara masa lalu dan masa depan.
Dalam dunia yang terus berubah, kita butuh pegangan agar tidak hanyut. Barangkali, semboyan sederhana dari tanah Pasundan ini adalah salah satu cara untuk tetap berpijak teguh — tanpa kehilangan arah, tanpa kehilangan rasa.
Karena pada akhirnya, menjadi manusia modern bukan berarti meninggalkan akar.
Justru dari akar itulah kita bisa tumbuh tinggi, menjulang ke masa depan, tanpa kehilangan makna kemanusiaan yang sejati. (*)
Tidak ada komentar