KOLOM | BD — Bullying atau perundungan kini menjadi masalah sosial yang serius, terutama di dunia pendidikan. Fenomena ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga meninggalkan luka batin yang mendalam. Dalam perspektif Islam, perilaku seperti menghina, mengejek, atau merendahkan orang lain termasuk dosa besar yang merusak ukhuwah (persaudaraan) dan nilai kemanusiaan.
Ajaran Al-Qur’an tentang Pencegahan Bullying
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dalam Surah Al-Hujurat ayat 10–12 bahwa orang-orang beriman adalah bersaudara. Karena itu, mereka dilarang saling mengolok, mencela, memberi julukan buruk, berprasangka jahat, atau bergunjing.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan seruan untuk memperbaiki hubungan antarsesama dan menghindari perilaku yang menimbulkan permusuhan. Dalam konteks modern, perbuatan seperti menghina di media sosial atau menyebarkan gosip termasuk bentuk cyberbullying yang dilarang keras oleh Islam.
Pakar tafsir kontemporer, Prof. Quraish Shihab, menafsirkan bahwa “prasangka buruk” (ẓann) dalam ayat tersebut juga mencakup perilaku menilai orang lain tanpa bukti—sikap yang kerap memicu perundungan di dunia digital.
Fenomena Bullying di Dunia Pendidikan
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar, namun kenyataannya, banyak peserta didik justru menjadi korban perundungan. Berdasarkan data Asesmen Nasional 2022 dari Kemendikbudristek, 36,31 persen siswa di Indonesia berpotensi mengalami bullying.
Sementara data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tahun 2023 mencatat 23 kasus bullying yang tersebar di berbagai daerah, dengan 50 persen terjadi di jenjang SMP. Bahkan, menurut KPAI, hingga Oktober 2025 tercatat 25 pelajar bunuh diri akibat perundungan.
Kasus di SMA Negeri 72 Jakarta menjadi contoh tragis. Seorang siswa diduga menjadi pelaku ledakan di masjid sekolah setelah mengalami perundungan dari teman-temannya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa luka psikologis yang tidak tertangani dapat berubah menjadi kemarahan dan kekerasan ekstrem.
Solusi Bullying Menurut Syariat Islam
Islam memberikan solusi moral dan spiritual yang komprehensif. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Cukuplah seseorang dianggap jahat jika ia merendahkan saudaranya sesama Muslim.” (HR. Muslim)
Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan perilaku adalah bagian dari keimanan. Ketika seseorang menghina orang lain, sejatinya ia sedang mencederai dirinya sendiri. Prinsip ini tergambar dalam firman Allah, “Walaa talmizuu anfusakum” — “Janganlah kamu saling mencela (sesungguhnya itu seperti mencela dirimu sendiri).”
Karena itu, membangun lingkungan sekolah yang beradab dan penuh kasih merupakan bagian dari implementasi nilai-nilai Islam. Lembaga pendidikan harus menumbuhkan budaya saling menghormati, menyelesaikan konflik dengan damai, dan menjadikan adab sebagai fondasi utama dalam belajar.
Pendidikan Berbasis Cinta dan Adab
Guru memiliki peran penting dalam mencegah bullying. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan akhlak dan empati. Dalam hal ini, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang diluncurkan Kementerian Agama menjadi terobosan penting. Kurikulum ini menekankan pendidikan karakter melalui nilai cinta, tanggung jawab, dan kebersamaan.
Pendekatan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Ibnu Qayyim Al-Jauzi berkata,
“Didiklah anak dengan adab sebelum ilmu, karena adab adalah mahkota ilmu, dan orang berilmu tanpa adab seperti tubuh tanpa ruh.”
Menumbuhkan Sekolah yang Penuh Kasih
Mengatasi bullying bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi membangun ekosistem kasih sayang. Ketika setiap siswa merasa dihargai, didengarkan, dan dicintai, maka ruang bagi kebencian akan menyempit dengan sendirinya.
Sekolah harus menjadi tempat tumbuhnya generasi rabbani — generasi yang berilmu, beradab, dan berhati lembut. Ilmu tanpa akhlak akan manusia cerdas tapi buas, sementara ilmu yang dibimbing iman akan melahirkan manusia yang bijak dan penuh kasih.
Penulis: Imaam Yakhsyallah Mansur
Pembina Jaringan Pondok Pesantren Al-Fatah se-Indonesia. (*)
Tidak ada komentar