OPINI | BD — “When we treat cruelty as a normal part of growing up, we teach young people that power is earned through humiliation.”
— Rosalind Wiseman, pendidik dan pemerhati isu perundungan
Kalimat di atas seolah menjadi cermin bagi dunia pendidikan kita hari ini. Ketika kekejaman dan penghinaan dianggap sebagai bagian “biasa” dari proses pendewasaan, sesungguhnya kita sedang mengajarkan generasi muda bahwa kekuasaan bisa diperoleh lewat rasa takut dan penderitaan orang lain. Di balik canda, tradisi, atau senioritas yang diklaim sebagai bentuk kedekatan, sering tersembunyi luka batin yang mendalam dari mereka yang menjadi korban.
Pendidikan Seharusnya Menumbuhkan, Bukan Melukai
Pendidikan idealnya menjadi ruang aman untuk menumbuhkan manusia seutuhnya—secara intelektual, emosional, dan moral. Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan itu. Kasus perundungan (bullying) justru kerap muncul di tempat yang seharusnya paling beradab: lingkungan pendidikan.
Menurut laporan Kemendiktisaintek yang dikutip IDN Times (2024), sejak tahun 2021 hingga 2024 tercatat 310 kasus kekerasan di perguruan tinggi, dan hampir 39 persen di antaranya merupakan perundungan. Angka ini menunjukkan bahwa kampus belum sepenuhnya menjadi tempat aman bagi mahasiswa untuk berkembang tanpa rasa takut.
Tragedi demi tragedi memperkuat bukti tersebut. Kasus Timothy Anugerah Saputra (22), mahasiswa Universitas Udayana yang meninggal dunia setelah diduga mengalami perundungan, menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Tragisnya, setelah kematian Timothy, beberapa rekan justru masih sempat mengejek korban di grup percakapan. Empati seolah ikut terkubur bersama jasadnya.
Kasus serupa juga menimpa seorang mahasiswi PPDS Anestesi Universitas Diponegoro, yang diduga bunuh diri akibat tekanan dan perlakuan tidak manusiawi dari senior. Dua peristiwa memilukan ini bukan sekadar “kasus individual”, melainkan gejala sistemik—bahwa budaya kekerasan masih hidup dan dinormalisasi dalam sistem pendidikan kita.
Akar Masalah: Senioritas dan Lemahnya Empati
Pertanyaan yang harus kita ajukan bersama adalah: mengapa perundungan terus berulang di dunia pendidikan yang seharusnya mencerdaskan?
Jawabannya terletak pada budaya senioritas dan mentalitas hierarkis yang sudah mengakar. Dalih seperti “melatih mental”, “mendidik adik tingkat”, atau “tradisi kampus” kerap dijadikan pembenaran untuk tindakan intimidatif. Sayangnya, banyak pihak kampus memilih diam atau sekadar memberi sanksi administratif, tanpa upaya serius memutus rantai kekerasan.
Selain itu, menurunnya empati di kalangan pelajar dan mahasiswa juga menjadi persoalan besar. Lingkungan yang terlalu kompetitif sering kali mendorong individu untuk unggul sendiri tanpa peduli pada perasaan orang lain. Di tengah tekanan akademik, kelemahan seseorang mudah dijadikan bahan ejekan alih-alih mendapat dukungan. Padahal, hakikat pendidikan bukan hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga menumbuhkan rasa kemanusiaan.
Saatnya Kampus dan Sekolah Bertindak Nyata
Menghentikan normalisasi bullying tidak cukup dengan slogan atau seminar tahunan. Diperlukan sistem perlindungan yang berpihak pada korban. Kampus dan sekolah perlu menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia, serta memastikan pelaku mendapatkan sanksi tegas, bukan perlindungan.
Para pendidik juga memegang peran kunci. Dosen dan guru seharusnya hadir bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga penuntun moral dan empati. Membuka ruang dialog, mendengarkan tanpa menghakimi, dan menumbuhkan solidaritas antar-mahasiswa atau siswa bisa menjadi langkah kecil yang membawa perubahan besar.
Sementara itu, mahasiswa dan pelajar sendiri harus berani bersuara. Menolak, melawan, dan melaporkan segala bentuk kekerasan—baik verbal, fisik, maupun psikologis—adalah bagian dari tanggung jawab moral sebagai insan terdidik. Diam berarti ikut melanggengkan budaya sakit yang menormalisasi penderitaan.
Mengembalikan Makna Sejati Pendidikan
Kita boleh bangga dengan prestasi akademik, penghargaan, atau reputasi universitas, tetapi pendidikan tanpa empati hanyalah kesombongan intelektual. Kampus dan sekolah seharusnya menjadi ruang untuk menumbuhkan manusia yang berpikir, beretika, dan berperasaan.
Menghentikan normalisasi perundungan bukan hanya tentang melindungi korban, tetapi juga tentang mengembalikan makna sejati pendidikan: kemanusiaan. Karena pada akhirnya, keberhasilan pendidikan tidak diukur dari banyaknya gelar, melainkan dari sejauh mana lulusan mampu menghargai martabat sesama.
Penulis: Siti May Sherla
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)
Tidak ada komentar