Tarung Kuasa di Tanah Jawara, Dinasti dan Kekuasaan Elite

waktu baca 2 menit
Selasa, 25 Feb 2025 11:47 0 Redaksi

OPINI | BD — Pembatalan kemenangan Ratu Rachmatu Zakiyah dalam Pilkada Kabupaten Serang 2024 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) semakin menegaskan kompleksitas politik dinasti di Banten. Keputusan MK ini memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kabupaten Serang. Hal ini kembali memperlihatkan bagaimana pertarungan kekuasaan dalam Pilkada sering kali berujung pada kegaduhan politik yang merugikan masyarakat.

Sebagai istri dari Menteri Desa Yandri Susanto, Ratu Rachmatu Zakiyah awalnya dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Serang 2024. Namun, keputusan MK membatalkan kemenangan tersebut dan memerintahkan PSU, yang menunjukkan betapa Pilkada masih menjadi arena pertarungan kepentingan elite. Banten sendiri memiliki sejarah panjang terkait politik kekerabatan, terutama dengan dominasi keluarga Ratu Atut Chosiyah.

Meskipun Atut pernah terjerat kasus korupsi, pengaruh keluarganya tetap kuat dalam politik lokal, dengan putranya, Andika Hazrumy, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Gubernur Banten dan kini kembali maju dalam Pilkada Serang.

Fenomena ini bukan sekadar soal pertarungan politik elite, tetapi juga cerminan buruknya demokrasi lokal. Lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban. Pertama, pelayanan publik akan terganggu karena energi pemerintah daerah terkuras untuk menyelesaikan sengketa politik yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kedua, tidak ada pendidikan politik yang bisa diambil dari pesta demokrasi ini. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran demokrasi bagi rakyat malah menjadi contoh buruk dari praktik jual beli kekuasaan.

Dana miliaran rupiah yang dihabiskan untuk Pilkada pada akhirnya terasa sia-sia. Penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu tampak seperti pajangan yang hanya menjalankan kegiatan seremonial tanpa ukuran keberhasilan yang jelas. Masyarakat dipaksa menyaksikan bagaimana Pilkada berubah menjadi ajang permainan politik uang, di mana siapa yang memiliki pengaruh dan modal besar akan menang.

Pada akhirnya, Pilkada yang seharusnya menjadi pesta demokrasi berubah menjadi panggung pertunjukan bagi elite politik, sementara rakyat kecil hanya menjadi penonton yang harus menerima konsekuensinya. Apakah ini akan terus berulang, ataukah ada harapan untuk perubahan? Itulah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh kita semua.

Penulis: Juno | Peneliti RIGHTS (Research, Public Policy & Human Rights). (*)


Disclaimer: Tulisan dalam rubrik opini ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan posisi atau pandangan resmi redaksi. Setiap pendapat, saran, atau informasi yang disampaikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi tidak bertanggung jawab atas konsekuensi yang mungkin timbul dari penggunaan atau interpretasi isi tulisan ini. Pembaca diharapkan untuk mempertimbangkan informasi ini dengan bijak dan melakukan verifikasi lebih lanjut jika diperlukan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    ""
    ""
    ""
    ""
    ""
    LAINNYA