Perbaikan Jalan Raden Saleh, Karang Tengah, Kota Tangerang. (Foto: Dok. Pribadi penulis) OPINI | BD — Pembangunan jalan yang berlangsung secara berturut-turut di wilayah Tangerang memicu keresahan di tengah masyarakat. Proyek infrastruktur yang dikerjakan tanpa jeda ini menimbulkan kemacetan parah, khususnya di kawasan Ciledug dan sekitarnya. Warga mengeluhkan aktivitas sehari-hari yang terganggu karena harus menghadapi kemacetan hampir sepanjang waktu, dari pagi hingga malam hari.
Rangkaian pembangunan yang dimulai dari kawasan Puri Beta dan berlanjut hingga Jalan Raden Saleh berdampak langsung pada arus lalu lintas di wilayah Graha Raya dan Ciledug. Selama proses pengerjaan, sebagian ruas jalan hanya dibuka satu jalur, bahkan dalam kondisi tertentu hanya satu arah. Akibatnya, kendaraan kerap terjebak dan nyaris tidak bergerak. Situasi ini menimbulkan kegelisahan di kalangan warga karena mobilitas menjadi sangat terbatas, tanpa adanya ruang atau jeda untuk bernapas dari kemacetan yang terus-menerus.
Di sisi lain, pembangunan jalan ini sejatinya memiliki tujuan yang penting. Pada tahun 2024, kawasan Jalan Raden Saleh sempat dilanda banjir. Sebagai langkah antisipasi, jalan tersebut ditinggikan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Dari sudut pandang ini, pembangunan jalan dapat dinilai sebagai upaya perlindungan jangka panjang bagi masyarakat.
Namun, persoalan utama terletak pada pola pelaksanaan pembangunan yang dilakukan secara beruntun tanpa perencanaan lalu lintas yang memadai. Jalan di kawasan Puri Beta bahkan mengalami peninggian hingga dua kali, sebelum kemudian dilanjutkan dengan pembangunan di Jalan Raden Saleh. Kondisi tersebut semakin memperparah kemacetan, mengingat Jalan Raden Saleh berada di dekat aliran kali dan sejak awal sudah menjadi jalur dengan kepadatan tinggi.
Setelah sekitar satu bulan pengerjaan, kondisi fisik Jalan Raden Saleh sebenarnya telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Permukaan jalan tampak lebih rapi dan layak dilalui. Namun demikian, jalan tersebut masih tetap ditutup dan hanya dibuka satu jalur dengan sistem buka-tutup berdasarkan waktu. Misalnya, akses dari arah Ciledug menuju Cipondoh hanya dibuka selama satu jam, sementara kendaraan dari arah sebaliknya harus menunggu giliran. Skema ini tetap memicu antrean panjang dan kemacetan yang tak terhindarkan.
Keresahan warga semakin memuncak ketika pembangunan dinyatakan selesai, tetapi jalan belum juga dibuka secara penuh. Masyarakat mempertanyakan alasan penutupan tersebut, mengingat kondisi jalan dinilai sudah siap digunakan. Setelah lebih dari satu bulan merasakan dampak kemacetan akibat sistem satu jalur, Jalan Raden Saleh akhirnya dibuka kembali secara normal. Sejak saat itu, arus lalu lintas di kawasan Ciledug dan Graha Raya berangsur membaik dan tingkat kemacetan menurun secara signifikan.
Secara keseluruhan, pembangunan jalan ini memang memberikan manfaat jangka panjang, terutama dalam upaya pencegahan banjir. Namun, pemerintah dinilai kurang mempertimbangkan kenyamanan masyarakat selama proses pembangunan berlangsung. Minimnya pengaturan lalu lintas dan ketiadaan solusi sementara membuat warga kehilangan ruang gerak dan kebebasan beraktivitas. Ke depan, pembangunan infrastruktur semestinya disertai perencanaan yang lebih matang dan humanis, agar manfaat pembangunan dapat dirasakan tanpa harus mengorbankan kenyamanan masyarakat.
Penulis: Siti Aisyah
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)
Tidak ada komentar