Eksploitasi Pekerja Indonesia dalam Sindikat Judi Online di Kamboja, Sebuah Tinjauan Hukum dan HAM

waktu baca 5 menit
Rabu, 26 Nov 2025 13:22 50 Redaksi

OPINI | BD – Ada satu pertanyaan yang terus menggema di benak saya setiap kali membaca berita tentang pekerja Indonesia yang disekap di Kamboja: bagaimana mungkin, di era ketika informasi begitu mudah diakses, begitu banyak orang masih tertipu oleh tawaran kerja palsu?

Namun setelah mengikuti berbagai kisah korban, saya mulai memahami bahwa persoalan ini bukan sekadar soal kurangnya informasi. Banyak dari mereka berangkat karena desakan hidup—tagihan yang menumpuk, anak yang perlu sekolah, orang tua yang perlu diobati. Dalam kondisi seperti itu, janji pekerjaan bergaji besar terasa seperti cahaya yang menawarkan harapan.

Sayangnya, cahaya itu palsu.

Tawaran yang terlihat meyakinkan di media sosial berubah menjadi mimpi buruk begitu mereka tiba di Kamboja. Mereka bukan hanya dibohongi, tetapi juga dirampas kebebasannya, dipaksa bekerja dalam operasi judi online ilegal, dan diperlakukan layaknya barang dagangan. Fenomena ini adalah wajah lain dari perbudakan modern yang selama ini mungkin kita kira sudah punah.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca menelusuri keseluruhan proses yang dialami para korban—bagaimana mereka direkrut, bagaimana mereka dijebak, bagaimana mereka dieksploitasi, dan bagaimana martabat kemanusiaan mereka dihancurkan. Sekaligus, saya ingin menegaskan betapa pentingnya nilai-nilai Pancasila untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Perekrutan yang Dimulai dari Harapan

Kebanyakan korban berangkat dari sebuah titik yang sederhana: harapan untuk hidup lebih layak.

Postingan berupa flyer digital, pesan WhatsApp, atau ajakan dari seorang “teman” menjadi awal dari perjalanan yang mereka sangka akan mengubah nasib. Yang membuat tawaran itu terlihat meyakinkan adalah kemudahan prosesnya: tidak perlu pengalaman, gaji tinggi, fasilitas lengkap, bahkan tiket pesawat digratiskan.

Namun justru di sinilah celah bahaya itu muncul. Jalur perekrutan ini tak memiliki izin resmi, tak ada kontrak jelas, dan tak ada jaminan perlindungan. Para korban tidak sadar bahwa sejak mereka memutuskan berangkat melalui jalur ilegal, mereka sebenarnya sudah melepas pegangan hukum yang seharusnya melindungi.

Dan bagi sindikat, kondisi ini membuka pintu untuk eksploitasi tanpa batas.

Awal dari Penipuan: Paspor Disita, Kontrak Dipalsukan

Begitu tiba di Kamboja, kenyataan pahit mulai muncul satu per satu. Paspor yang sebelumnya diminta “untuk keperluan administrasi” ternyata disita sebagai alat kontrol. Kontrak kerja baru diberikan, isinya tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Lebih jauh lagi, korban diberi tahu bahwa mereka memiliki “utang” biaya perjalanan kepada perusahaan.

Utang ini tidak pernah dijelaskan sebelumnya. Jumlahnya pun tidak masuk akal. Namun karena paspor ditahan dan mereka berada di negara asing, ancaman itu terasa sangat nyata.

Ketika ingin pulang, mereka diminta membayar tebusan yang jumlahnya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Jika menolak bekerja, mereka diancam akan diserahkan kepada polisi setempat. Pola ini dirancang sedemikian rupa agar korban merasa tidak memiliki pilihan lain selain tetap bekerja.

Di titik ini, hidup mereka bukan lagi milik mereka sendiri.

Eksploitasi: Ketika Manusia Diperlakukan sebagai Mesin

Penderitaan korban semakin dalam setelah mereka dimasukkan ke pusat operasi judi online. Ruangan tempat mereka bekerja dikunci dari luar, kamera dipasang di setiap sudut, dan mereka dipaksa bekerja hingga belasan jam setiap hari.

Banyak korban bercerita bahwa mereka tidur berdesakan, makanan tidak cukup, dan setiap kesalahan kecil dibayar dengan pukulan atau setrum. Ada yang diancam akan dijual ke perusahaan lain, ada yang dipisahkan dari rekan-rekannya, ada yang dipaksa bekerja hingga sakit.

Pada titik ini, korban tidak lagi dianggap sebagai manusia. Mereka adalah mesin yang harus menghasilkan uang. Jika rusak, mereka diganti; jika melawan, mereka dihancurkan.

Inilah inti dari perdagangan manusia dalam bentuk paling telanjang.

Pelanggaran HAM dan Pancasila

Ketika kita melihat kasus ini melalui perspektif Hak Asasi Manusia, pelanggarannya begitu meluas sehingga terasa mustahil menghitungnya satu per satu: kebebasan pribadi dirampas, martabat diinjak-injak, tubuh disiksa, kesehatan diabaikan, dan keamanan ditiadakan.

Namun bagi saya, pelanggaran paling mencolok terlihat pada Sila Kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Sila ini menuntut kita memperlakukan setiap manusia dengan martabat yang sama. Tapi dalam kasus ini, pekerja diperlakukan lebih rendah daripada barang. Mereka bukan sekadar dimanfaatkan, tetapi dikendalikan, dieksploitasi, dan diperjualbelikan. Sikap ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga jauh dari nilai keberadaban.

Ketika manusia dipandang hanya dari nilai ekonominya, maka nilai-nilai kemanusiaan runtuh. Dan ketika itu terjadi, Pancasila kehilangan makna praktisnya.

Mengapa Pancasila Penting dalam Kasus Ini

Dalam konteks perdagangan manusia, Pancasila sebenarnya bukan sekadar ideologi negara—ia adalah tameng moral yang seharusnya melindungi masyarakat dari eksploitasi.

  • Dari Sila Ketiga, kita belajar bahwa persatuan menuntut kita menjaga satu sama lain. Masyarakat harus berani mengingatkan keluarga atau tetangga yang hendak berangkat melalui jalur ilegal.
  • Dari Sila Keempat, kita diajari berpikir kritis dan rasional sebelum mengambil keputusan, sehingga tidak mudah tertipu oleh tawaran palsu.
  • Dari Sila Kelima, negara wajib menghadirkan keadilan sosial melalui lapangan kerja yang layak, agar rakyat tidak perlu mempertaruhkan keselamatan di luar negeri.

Pancasila hadir bukan hanya untuk dihafalkan di sekolah, tetapi untuk menjadi kompas moral dalam situasi yang bisa menghancurkan masa depan manusia.

Solusi: Dari Edukasi hingga Diplomasi

Jika kita ingin kasus ini tidak terus berulang, kita harus menatap akar masalahnya. Edukasi publik harus diperluas, penindakan terhadap agen ilegal diperkuat, kerja sama Indonesia–Kamboja dipercepat, dan korban diberi pendampingan yang menyeluruh.

Namun solusi paling mendasar tetap sama: menyediakan pekerjaan layak di dalam negeri. Jika kesejahteraan rakyat ditingkatkan, maka iming-iming pekerjaan palsu tidak akan lagi terlihat begitu menggoda.

Kesimpulan

Eksploitasi pekerja Indonesia di Kamboja bukan hanya soal kejahatan internasional. Ia adalah cermin betapa rapuhnya masyarakat ketika desakan ekonomi bertemu dengan manipulasi digital yang canggih. Dari perekrutan ilegal hingga kekerasan fisik, semuanya menunjukkan bahwa praktik perbudakan modern masih nyata dan mengancam.

Sila Kedua Pancasila, tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjadi nilai yang paling dilanggar dalam kasus ini. Para korban tidak diperlakukan sebagai manusia; mereka dijadikan komoditas untuk memperkaya sindikat kriminal.

Tulisan ini adalah pengingat bahwa eksploitasi tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia terjadi ketika hukum lemah, ekonomi timpang, dan nilai kemanusiaan terabaikan. Dan selama kondisi itu tidak berubah, tragedi seperti ini akan terus berulang—mengambil korban demi korban yang hanya ingin memperbaiki hidupnya.

Penulis: Asep Malik Ibrahim, Mahasiswa semester 1, Mata Kuliah Pancasila, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untirta. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA