Flexing di Media Sosial dan Merosotnya Etika Publik Generasi Digital

waktu baca 5 menit
Senin, 1 Des 2025 19:00 80 Nazwa

OPINI | BD — Fenomena flexing atau pamer kemewahan di ruang digital dalam dua tahun terakhir menjadi sorotan publik Indonesia. Berbagai unggahan yang menonjolkan kekayaan material secara provokatif telah menjadi pemandangan umum, terutama di platform yang banyak digunakan anak muda. Laporan We Are Social (2023) menunjukkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia telah mencapai lebih dari 167 juta orang. Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat meningkatnya aduan terkait konten flexing yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi sosial masyarakat.

Flexing tampak sederhana, namun berdampak luas terhadap moralitas publik. Perilaku pamer kekayaan dapat memicu kecemburuan sosial, mengikis sensitivitas moral, dan mendorong bergesernya nilai kesederhanaan yang dahulu menjadi ciri karakter masyarakat Indonesia. Fenomena ini mengindikasikan kemerosotan etika publik generasi digital yang sangat terpengaruh oleh budaya visual dan kebutuhan akan validasi sosial.

Analisis Masalah

Budaya flexing berakar pada perubahan nilai dalam interaksi digital. Banyak pengguna merasa perlu menampilkan status ekonomi demi memperoleh pengakuan. Vogel et al. (2014) menunjukkan bahwa flexing dapat memicu iri, ketidakpuasan, dan menurunkan kesejahteraan psikologis penontonnya. Di kalangan mahasiswa, muncul tekanan untuk terlihat sukses secara visual meskipun tidak sesuai dengan realitas hidup mereka. Tekanan ini muncul bukan dari kebutuhan, melainkan kecemasan sosial yang dibentuk oleh budaya digital.

Perubahan orientasi moral terlihat dari bergesernya nilai solidaritas menuju individualisme dan materialisme. Bagi pelaku flexing, tuntutan mempertahankan citra mewah dapat menimbulkan stres dan kecemasan. Studi Chou dan Edge (2012) juga menunjukkan bahwa pengguna yang sering membandingkan diri di media sosial cenderung merasa hidup orang lain lebih bahagia dan sukses, sehingga penonton konten flexing rentan mengalami penurunan harga diri.

Kurangnya pemahaman tentang etika digital memperparah kondisi ini. Generasi muda memang menguasai teknologi secara teknis, tetapi tidak selalu memahami konsekuensi moral dari perilaku daringnya. Ditambah algoritma media sosial yang mendahulukan konten mewah, budaya konsumtif pun semakin dinormalisasi.

Fenomena flexing juga berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila:

1. Sila Kedua — Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Pamer kemewahan di tengah kesenjangan ekonomi mengikis empati dan memunculkan ketidakpekaan sosial. Konten tersebut dapat melukai pihak lain yang sedang berada dalam kondisi sulit, sebagaimana ditunjukkan berbagai temuan psikologi sosial.

2. Sila Ketiga — Persatuan Indonesia

Flexing memperkuat perbandingan sosial dan menciptakan suasana kompetitif. Hal ini melemahkan solidaritas dan kebersamaan, terutama di ruang digital yang menjadi arena utama interaksi generasi muda.

3. Sila Kelima — Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Budaya flexing menguatkan orientasi materialistik dan menciptakan standar hidup tidak realistis. Ketimpangan sosial dianggap wajar karena paparan kemewahan yang terus-menerus, sehingga nilai gotong-royong dan kepedulian sosial semakin meredup.

Dengan demikian, meski Pancasila menjadi dasar moral bangsa, internalisasi nilai-nilainya di ruang digital masih sangat terbatas.

Urgensi Mempelajari Pancasila

Dalam menghadapi perkembangan budaya digital, pemahaman Pancasila perlu diperbarui. Pembelajarannya tidak bisa lagi hanya bersifat hafalan, melainkan harus dikaitkan dengan realitas sehari-hari, termasuk perilaku digital.

Nilai kesederhanaan, empati, kejujuran, dan tanggung jawab sosial perlu dipahami sebagai pedoman dalam menciptakan dan mengonsumsi konten. Tanpa penanaman nilai ini, generasi muda mudah terjebak dalam hubungan kompetitif dan transaksional yang bertentangan dengan prinsip persatuan.

Rekontekstualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan digital menjadi sangat mendesak agar masyarakat mampu menavigasi teknologi tanpa kehilangan integritas moral.

Rekomendasi Solusi Konkret

1. Transformasi Pedagogis

Pendidikan Pancasila harus lebih kontekstual dan kritis. Fenomena flexing dapat dijadikan studi kasus untuk menganalisis ketidaksesuaian antara praktik digital dan nilai kemanusiaan serta keadilan sosial. Diskusi dan refleksi etis perlu diperkuat.

2. Kolaborasi Multipihak

Diperlukan kerja sama antara lembaga pendidikan, pemerintah, dan platform digital. Literasi digital harus mencakup etika publik, bukan hanya keamanan atau kemampuan teknis. Kesadaran bahwa konten flexing memperlebar jarak sosial perlu ditanamkan secara sistematis.

3. Penguatan Pendidikan Karakter

Pemerintah dapat mendukung penyebaran konten edukatif yang mengangkat nilai kesederhanaan, kerja keras, integritas, dan kontribusi sosial. Ini penting untuk menyeimbangkan arus konten konsumtif.

4. Peran Fundamental Keluarga

Keluarga sebagai unit sosial terkecil memegang peran kunci. Keteladanan dalam hidup sederhana dan berintegritas membantu membangun resiliensi anak muda terhadap tekanan sosial dan budaya pamer di media sosial.

Kesimpulan

Flexing di media sosial mencerminkan kompleksitas persoalan moral di era digital. Fenomena ini bukan hanya persoalan gaya hidup, tetapi juga tanda pergeseran nilai sosial dalam masyarakat. Agar ruang digital tidak dikuasai budaya konsumtif, nilai-nilai moral masyarakat harus diperkuat melalui pembaruan pemahaman Pancasila.

Apabila nilai empati, kesederhanaan, dan solidaritas ditanamkan sejak dini melalui pendidikan dan teladan keluarga, generasi muda dapat bersikap lebih bijak dalam berinteraksi di ruang digital. Media sosial pun dapat berfungsi bukan sebagai wadah pamer kekayaan, melainkan sebagai sarana memperkuat moralitas dan persatuan bangsa.

Daftar Pustaka

Wearesocial.com. (2023). Digital 2023 Global Overview Report. Diakses pada 17 November 2025, dari https://wearesocial.com/id/blog/2023/01/digital-2023/.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2023. Survei Nasional Literasi Digital Indonesia. Jakarta, Kominfo.

Rojiati, U., & Afifah, N. (2024). Analisis Fenomena Flexing: Keterkaitan antara Gaya Hidup dan Popularitas. Komsospol, 4(1), 38–47.

Vogel, E. A., Rose, J. P., Roberts, L. R., & Eckles, K. (2014). Social comparison, social media, and self-esteem. Psychology of Popular Media Culture, 3(4).

Chou, H.-T. G., & Edge, N. (2012). They are happier and having better lives than I am: The impact of using Facebook on perceptions of others’ lives. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 15(2).

Penulis: Viarencia Audrinaputri Liu
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untirta. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA