Restu Ayu Nirwana. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | BD – Di era digital seperti saat ini, mendapatkan informasi, data, dan bahkan kode perangkat lunak hanya memerlukan satu klik. Namun, kemudahan ini juga menghadirkan risiko besar berupa pencurian karya yang merusak integritas akademis dan menghalangi perkembangan di bidang teknologi. Plagiarisme di era digital saat ini telah meluas lebih dari sekadar menyalin kalimat-kalimat dari buku. Dalam ranah teknologi, tindakan ini meliputi pengambilan kode sumber, desain database, serta peniruan estetika dan suasana dari sebuah aplikasi. Berbagai jenis plagiarisme digital yang sering dijumpai diantaranya:
Oleh karena itu, perlu adanya batasan hukum dan etika pada sebuah karya. Pemerintah Indonesia telah menetapkan peraturan yang jelas guna melindungi karya-karya intelektual. Sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, perlindungan diberikan kepada hasil kreativitas dalam bidang sains, seni, dan sastra, termasuk program perangkat lunak serta tulisan ilmiah. Di kalangan akademis, penggunaan aplikasi seperti Turnitin kini telah menjadi praktik umum untuk menilai tingkat keaslian suatu karya.
Pelaku plagiarisme di Indonesia menghadapi berbagai risiko hukum yang terdiri dari sanksi pidana dan administratif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tindakan yang melanggar hak ekonomi pencipta, seperti pembajakan software atau karya tulis, dapat berujung pada hukuman penjara atau denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 113.
Selain itu, Pasal 380 ayat (1) KUHP mengancam pidana bagi siapa pun yang secara ilegal mencantumkan nama palsu pada karya orang lain sehingga karya tersebut terlihat seolah-olah miliknya. Dalam dunia pendidikan, sanksi akademik diterapkan dengan ketat, mulai dari peringatan lisan, pembatalan nilai mata kuliah, hingga pemecatan tanpa hormat bagi mahasiswa dan dosen.
Bahkan, merujuk pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2021, gelar akademik dan ijazah lulusan dapat dicabut dan batal jika karya ilmiah yang digunakan untuk kelulusan terbukti merupakan hasil plagiarisme.
Plagiarisme dapat dihindari apabila pengambilan karya dilakukan dengan menyebutkan sumbernya secara jelas untuk kebutuhan pendidikan atau penelitian, tanpa merugikan hak-hak pencipta. (*)
Penulis: Restu Ayu Nirwana, Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)
Tidak ada komentar