OPINI | BD — Tragedi keracunan massal yang menimpa ratusan siswa di Kabupaten Bandung Barat akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi peringatan keras bagi tata kelola kebijakan publik di daerah. Program yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan gizi anak sekolah justru menimbulkan duka dan trauma bagi banyak keluarga.
Namun di tengah krisis tersebut, langkah cepat dan tegas Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchie Ismail, patut diapresiasi. Ia memilih menutup tiga dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang diduga menjadi sumber keracunan, sekaligus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh sistem penyediaan makanan.
Keputusan Politik yang Mengutamakan Keselamatan
Keputusan Jeje untuk menghentikan sementara sebagian program MBG bukanlah bentuk kegagalan, melainkan keputusan politik yang berani dan berpihak pada keselamatan publik. Ia tidak membekukan seluruh program, melainkan fokus pada titik rawan yang diduga bermasalah.
“Berdasarkan analisis epidemiologi dan hasil evaluasi, distribusi makanan dari dapur yang bermasalah kami hentikan sementara. Status KLB resmi dicabut karena tidak ada kasus baru,” kata Jeje.
Langkah ini menunjukkan komitmen seorang pemimpin yang berani menunda program populis demi keselamatan masyarakat. Dalam konteks politik kebijakan, ini adalah bentuk responsibility over popularity—keputusan yang jarang diambil oleh pejabat publik.
Masalah Sistemik dan Lemahnya Pengawasan
Investigasi awal menemukan sejumlah pelanggaran serius terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP). Di antaranya penyimpanan bahan pangan dalam freezer berkapasitas berlebih, hingga banyak dapur MBG yang belum memiliki sertifikasi layak sehat. Dugaan kontaminasi bakteri pun menjadi salah satu penyebab utama keracunan.
Temuan ini menegaskan bahwa persoalan MBG bukan pada konsep programnya, tetapi pada lemahnya pengawasan dan kontrol mutu di lapangan. Program sosial sebesar ini semestinya memiliki sistem audit dan pengawasan ketat—bukan sekadar menyalurkan makanan tanpa standar keamanan yang jelas.
Evaluasi Total dan Transparansi
Bupati Jeje menegaskan, evaluasi total akan dilakukan terhadap seluruh dapur MBG di Bandung Barat. Pemerintah daerah juga menjamin seluruh biaya pengobatan korban ditanggung penuh. Selain itu, proses sertifikasi higienitas dan pengujian sampel makanan akan diperketat, bahkan melibatkan aparat penegak hukum untuk memastikan ketaatan SOP.
Jeje juga menyerukan agar masyarakat ikut mengawasi pelaksanaan program. Ia menegaskan tidak ada toleransi terhadap penyimpangan, baik dalam bentuk kelalaian maupun potensi korupsi dalam pengadaan bahan pangan.
Menyelamatkan Program, Bukan Mengorbankannya
Meski tragedi ini mengguncang, Bupati Jeje menolak untuk menghentikan program MBG secara total. Menurutnya, program ini telah membantu lebih dari 200 ribu siswa dan meringankan beban ekonomi keluarga. “Program ini baik. Jangan sampai kesalahan dua-tiga dapur merusak reputasi semua dapur yang telah bekerja baik,” ujarnya.
Sikap ini menunjukkan keseimbangan antara empati dan rasionalitas. Alih-alih menyerah pada tekanan publik, Jeje memilih memperbaiki sistem dari dalam. Ia menyelamatkan program dengan memastikan kualitas dan keamanan pangan benar-benar terjamin sebelum dilanjutkan kembali.
Pelajaran bagi Pemerintah Daerah Lain
Tragedi MBG Bandung Barat menjadi cermin bagi banyak pemerintah daerah yang tengah gencar menjalankan program serupa. Semangat memberi bantuan sosial tidak boleh mengorbankan prinsip kehati-hatian dan standar kesehatan.
Penghentian sementara MBG di titik rawan adalah bukti bahwa keselamatan anak-anak lebih berharga daripada sekadar kecepatan implementasi program. Kebijakan yang berbasis pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keselamatan publik inilah yang seharusnya menjadi fondasi setiap program kesejahteraan masyarakat.
Penutup
Kepemimpinan Bupati Jeje menjadi contoh bahwa keberanian untuk memperbaiki kesalahan lebih berharga daripada memaksakan keberlanjutan program yang belum siap. Keputusan ini tidak hanya menyelamatkan nyawa ratusan pelajar, tetapi juga menyelamatkan integritas pemerintahan daerah di mata publik.
Karena pada akhirnya, program makan bergizi bukan hanya soal makanan—tetapi tentang kepercayaan, keselamatan, dan masa depan generasi penerus bangsa.
Penulis: Allysa Chantika Firdaus
Mahasiswi Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)
Tidak ada komentar