LEBAK | BD — Aktivis ’98 Adian Napitupulu berkunjung ke Museum Multatuli sebagai bentuk refleksi atas perjuangan masyarakat Lebak dalam melawan kolonial.
Adian yang saat ini menjabat anggota DPR RI menilai Lebak beruntung memiliki sosok sejarawan seperti Bonnie Triyana yang rela berbagi ilmu dengan membangun oase peradaban lewat Museum Multatuli.
Menurutnya, cerita perjuangan dalam melawan kolonial perlu ditularkan kepada generasi muda. Mengingat, Lebak dapat merubah pikiran dunia dengan kritikan Douwes Dekker melalui karyanya yang terkenal, Max Havelaar.
“Kalau rakyat Banten seperti yang diceritakan Bonnie, mereka harus bangga menjadi orang yang lahir dari Lebak. Lebak ternyata pernah merubah pikiran dunia. Bukan jalan tanah jadi aspal, tapi cara berpikir. Ini baru yang gua dapatkan tadi (di Museum Multatuli),” katanya, Sabtu, 1 Juli 2023.
Ia menerangkan, Douwes Dekker yang memiliki nama pena Multatuli memiliki pemikiran terbuka dengan menyadari kemewahan kolonial hasil dari rampasan masyarakat miskin di Lebak.
“Apa yang kita pelajari dari Multatuli? Dia orang Belanda, hadir di sini (Lebak), matanya terbuka. Kemewahan di Belanda berasal dari kemiskinan di Lebak, sehingga pemikirannya terbuka dan melawan,” terangnya.
Cerita yang utuh dalam Museum Multatuli, kata Adian, harus diperjuangkan semangatnya demi memajukan Bangsa Indonesia. Sebab, koloniliasme bisa muncul dengan istilah baru dengan keburukan yang sama seperti tempo dulu.
Namun, mempelajari kolonialisme tidak dimaknai ekspresi dendam, tapi mencegah keberulangan peristiwa silam yang tidak baik.
Dengan menceritakan berulang seperti yang dijelaskan Bonnie Triyana, sambung Adian, merupakan salah satu bentuk untuk mencegah penindasan serupa.
“Orang yang mau memperjuangkan, merawat, mengurus dan membagikan cerita semacam ini adalah orang langka. Tidak banyak orang yang mau menginisiasi museum, mengumpulkan barang yang sudah dibawa ke Belanda, lalu dibawa lagi,” ungkapnya.
“Sejarah tidak sederhana, setiap keping peristiwa berharga. Salah satu orang Banten terbaik ada di sini, di samping saya, ya Bonnie ini,” tambahnya.
Ia menjelaskan, saat ini Indonesia butuh politisi muda yang tidak menampilkan banyak gaya dengan pakaian yang mahal. Tapi Indonesia membutuhkan sosok politisi muda yang memiliki pemikiran dan kepedulian terhadap rakyat serta kemajuan daerah.
“Saya di sini untuk Bonnie. Kita butuh politisi muda yang tidak gaya-gayaan. Nilainya tidak hilang meski tidak pakai jam mahal, gelang mahal, sabuk mahal. Kehormatan kita tidak hilang, kehormatan kita dari keberpihakan kita,” paparnya.
Ia menyebutkan, perlu sosok yang mengerti sejarah dalam tubuh lembaga wakil rakyat untuk melihat Indonesia lebih baik 25 tahun ke depan.
“Yang dipilih bukan hanya namanya, tapi perilakunya. Kenapa kita harus mendukung caleg muda? Karena dia (Bonnie) mengerti sejarah, karena kita ingin melihat Indonesia 25 tahun ke depan menjadi lebih baik,” ucapnya.
Di tempat yang sama, sejarawan Indonesia Bonnie Triyana memaparkan, Museum Multatuli digagas atas dasar kemanusiaan yang antikekerasan dan antipenindasan.
“Museum membawa gagasan kemanusiaan anti kekerasan, anti penindasan,” paparnya saat menerangkan konsep Museum Multatuli.
Bonnie Triyana yang maju sebagai calon anggota DPR RI Dapil Banten 1 menerangkan, sosok Saidjah-Adinda merepresentasikan perjuangan masyarakat dalam melawan kolonial.
“Saidjah-Adinda berasal dari kampung yang tertindas, merantau, dan melawan kolonial, hingga akhirnya meninggal,” ungkapnya.
Sehingga, pihaknya berharap semangat dan perjuangan dari tokoh-tokoh di dalam Museum Multatuli yang harus diabadikan dalam bingkai keberpihakan terhadap rakyat.
‘Semangat ini yang kita abadikan dan disematkan menjadi nama museum,” tutupnya. (Ril)
Tidak ada komentar