Mengkritisi Praktik Aparat Pamer Tumpukan Uang Korupsi: Antara Transparansi dan Pencitraan

waktu baca 2 menit
Selasa, 30 Sep 2025 21:25 87 Nazwa

OPINI | BD Praktik aparat penegak hukum (APH) yang kerap menampilkan tumpukan uang hasil sitaan dari kasus korupsi maupun tindak kejahatan finansial lainnya memicu perdebatan di masyarakat. Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai bukti nyata keberhasilan penegakan hukum. Namun di sisi lain, kritik muncul terkait kesan berlebihan serta pertanyaan mengenai transparansi dan integritas aparat.

Belakangan, publik sering disuguhi gambar atau video APH dengan uang tunai berjumlah fantastis, mulai dari miliaran hingga triliunan rupiah. Meski terlihat dramatis, fenomena ini sebenarnya menimbulkan isu sosial, hukum, dan etika.

Secara resmi, pemaparan uang bertujuan menunjukkan keberhasilan aparat dalam menindak kejahatan sekaligus menyampaikan pesan bahwa hukum berlaku tanpa diskriminasi. Namun, secara logis sulit membayangkan koruptor menyimpan uang tunai dalam jumlah miliaran rupiah. Dalam praktik modern, organisasi hanya mengenal petty cash untuk kebutuhan harian, bukan untuk menyimpan uang dalam jumlah besar.

Faktanya, hasil kejahatan finansial umumnya disamarkan melalui aset, investasi, atau rekening bank agar lebih sulit dilacak. Uang tunai yang dipamerkan biasanya berasal dari akumulasi penyitaan dari berbagai kasus dan lokasi, bukan hasil satu transaksi atau satu pelaku.

Kasus besar seperti korupsi proyek e-KTP atau penyelewengan dana bansos menunjukkan bahwa uang sitaan merupakan gabungan dari berbagai titik. Dengan kata lain, aksi pamer uang bersifat simbolis dan tidak sepenuhnya mencerminkan cara kerja para koruptor.

Dari perspektif sosial, fenomena ini memberi kepuasan instan bagi masyarakat. Namun, ada risiko munculnya budaya sensasionalisme yang justru menutupi hal penting, seperti hak tersangka, proses peradilan yang adil, dan transparansi hukum. Jika hanya dianggap pencitraan, praktik ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.

Secara hukum, masalah lain yang penting adalah mekanisme penyimpanan dan pengamanan uang sebagai barang bukti. Tata kelola yang lemah bisa membuka peluang penyalahgunaan dan merugikan proses persidangan. Akuntabilitas dan transparansi seharusnya menjadi prinsip utama dalam pengelolaan aset sitaan.

Fenomena ini menunjukkan dilema: aparat penegak hukum sering terjebak dalam “politik pencitraan” yang menekankan kesan publik daripada substansi hukum. Padahal, penegakan hukum idealnya berfokus pada keadilan, penghormatan hak asasi, dan transparansi—tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip tersebut demi efek dramatis.

Oleh karena itu, praktik pamer uang hasil sitaan perlu dievaluasi. Aparat sebaiknya mengutamakan komunikasi publik yang edukatif, menekankan proses hukum yang jelas, dan menegaskan akuntabilitas. Langkah ini lebih bermanfaat dibanding menampilkan tumpukan uang yang meski spektakuler, berpotensi menyesatkan pemahaman masyarakat.

Penulis: Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Yarsi. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA