Remaja Indonesia Berani Beda: Wujudkan Nilai Pancasila, Tolak Segala Bentuk Bullying!

waktu baca 4 menit
Rabu, 26 Nov 2025 11:58 56 Redaksi

OPINI | BD – Bullying bukan lagi sekadar “kenakalan remaja.” Ia telah menjelma menjadi ancaman serius yang merusak fisik, menghancurkan mental, mematahkan semangat belajar, bahkan dapat menghilangkan nyawa. Di tengah derasnya arus digital dan perubahan sosial, kekerasan verbal, fisik, hingga cyberbullying menjadi momok yang terus menghantui dunia pendidikan Indonesia.

Kasus perundungan tragis terhadap seorang siswa SD berusia 8 tahun di Medan pada Juni 2023 menjadi alarm keras bagi kita semua. Ibrahim Hamid mengalami bully fisik dan psikis oleh kakak kelasnya hingga akhirnya meninggal dunia setelah kondisi kesehatannya menurun drastis. Tragedi itu menorehkan luka mendalam sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar karakter generasi muda.

Kini saatnya remaja Indonesia berani tampil berbeda—bukan untuk terlihat keren atau populer, tetapi untuk berani menegakkan nilai Pancasila di tengah budaya perundungan yang makin meresahkan.

Ketika Pancasila Hanya Jadi Hafalan

Fenomena bullying menunjukkan satu hal yang menyedihkan: nilai kemanusiaan dan persatuan sering hanya diingat saat upacara bendera. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” seharusnya membuat setiap siswa saling menghargai, peduli, dan tidak menyakiti orang lain. Namun kenyataannya, ejekan, pengucilan, dan kekerasan masih dianggap lucu atau bahkan menjadi ajang pembuktian diri.

Sementara itu, sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” terbukti belum benar-benar dipraktikkan. Banyak siswa memilih diam saat melihat temannya dirundung, entah karena takut, malu, atau merasa bukan urusannya. Diamnya saksi justru membuat bullying bertambah kuat dan menjadi budaya yang dibiarkan.

Bullying tumbuh subur karena beberapa faktor:
• kurangnya pengawasan di sekolah,
• komunikasi yang lemah antara guru–orang tua–siswa,
• pendidikan karakter yang hanya teoritis,
• serta rendahnya empati dan keberanian untuk bertindak.

Nilai Pancasila sebenarnya bukan sekadar teks, tetapi pedoman hidup yang harus melekat pada tindakan paling sederhana: menolong teman, menghargai perbedaan, dan berani berkata bahwa kekerasan bukan sesuatu yang bisa ditoleransi.

Kenapa Belajar Pancasila Itu Penting?

Hukuman bagi pelaku bullying memang perlu, namun itu bukan solusi jangka panjang. Menghukum tanpa memberi pemahaman hanya akan membuat pelaku jera sesaat, bukan berubah secara moral.

Pancasila mengajarkan akar dari semua solusi: kemanusiaan, empati, kebersamaan, dan sikap menghargai martabat orang lain. Ketika nilai-nilai itu benar-benar dipahami, seseorang tidak akan tega merundung atau meremehkan temannya. Di saat yang sama, siswa akan lebih peka melihat jika ada temannya terancam dan siap membantu.

Pancasila mengingatkan kita bahwa perbedaan bukan alasan untuk saling merendahkan. Justru dari perbedaan itulah kita belajar bagaimana menjadi manusia yang lebih bijaksana dan beradab.

Solusi Konkret: Dari Remaja, untuk Remaja

Bullying tidak bisa dibiarkan menjadi budaya diam-diam. Harus ada gerakan nyata yang relevan dengan kehidupan remaja masa kini. Berikut beberapa solusi yang bisa diterapkan:

  1. Membangun safe space—ruang aman, online maupun offline, tempat siswa bisa curhat tanpa takut dihakimi.
  2. Membuat platform digital edukatif dengan simulasi berbasis nilai Pancasila.
  3. Menghadirkan konten kreatif anti-bullying di Instagram, TikTok, dan YouTube.
  4. Melibatkan influencer muda sebagai role model positif.
  5. Mengadakan lomba kreatif bertema anti-bullying: poster, short movie, atau podcast.
  6. Workshop kepemimpinan dan empati yang fokus pada praktik, bukan hanya teori.
  7. Sistem laporan rahasia lewat aplikasi atau kotak aduan digital.
  8. Festival sekolah berbasis keberagaman, agar semua siswa merasa dihargai.
  9. Sesi sharing penyintas bullying, untuk membuka mata tentang dampak dan cara bangkit.
  10. Gerakan Wall of Empathy, tempat siswa saling menulis pesan positif dan permintaan maaf.

Jika semua ini dijalankan, sekolah bukan hanya menjadi tempat belajar, tetapi ruang aman yang memupuk rasa peduli dan solidaritas.

Kesimpulan: Jadilah Generasi yang Berani Berbeda

Tragedi bullying di Medan bukan sekadar berita pilu—itu adalah peringatan keras bahwa kita butuh perubahan moral. Penegakan hukum penting, tetapi perubahan sejati ada di tangan generasi muda yang mau menghidupkan Pancasila dalam tindakan sehari-hari.

Remaja Indonesia memiliki kekuatan besar untuk menghentikan budaya bullying:
dengan empati, keberanian speak up, solidaritas, serta kreativitas di dunia digital.

Menjadi remaja di era digital bukan sekadar mengikuti tren, tetapi menciptakan perubahan. Jadilah generasi yang melindungi teman, berani menegur yang salah, dan menghadirkan kebaikan di mana pun berada.

Bullying tidak boleh menjadi budaya. Mulailah dari diri sendiri. Jadilah generasi Indonesia yang adil, beradab, dan penuh empati—seperti yang diamanatkan Pancasila.

Penulis: Siti Nur Ajizah, mahasiswa semester 1, Mata Kuliah Pancasila, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA