Reformasi Polri: Pelindung Rakyat atau Penjaga Kekuasaan?

waktu baca 4 menit
Jumat, 10 Okt 2025 11:48 35 Nazwa

OPINI | BD — Tepat pada 1 Juli 2025, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menandai usia ke-79 tahun. Sejak awal berdirinya, lembaga ini secara resmi diberi nama Kepolisian Negara, yang menegaskan perannya sebagai alat negara. Dalam perjalanan panjangnya, Polri telah melewati berbagai fase, termasuk eksperimen terhadap model tata kelola keamanan—mulai dari orientasi pada keamanan negara (state security) hingga fokus pada keamanan manusia (human security).

Namun, hingga kini, masyarakat masih sering menyuarakan keluhan. Muncul pertanyaan mendasar: ke mana arah prioritas Polri saat ini? Apakah lebih berfokus pada perlindungan terhadap negara dan asetnya, ataukah menghadirkan rasa aman bagi warga sebagai individu yang membentuk bangsa ini?

Kejelasan arah ini menjadi penting. Polri tidak seharusnya hanya tampak sebagai penjaga kekuasaan dan kepentingan negara, tetapi juga sebagai pelindung setiap manusia yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia.

Reformasi Polri

Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Komite Reformasi Polri, sementara Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga melakukan pembenahan internal. Pertanyaannya, seperti apa hasil dari reformasi ini nantinya? Publik menunggu bukti nyata, bukan sekadar wacana.

Koordinator Nasional Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), Raja Parlindungan Pane, menegaskan pentingnya reformasi segera. Dalam diskusi FWK pada Rabu (8/10/2025), ia menyampaikan bahwa reformasi Polri harus mengembalikan jati diri kepolisian sebagai pelindung rakyat, bukan penguasa.

“Langkah reformasi Polri yang diinisiasi Presiden Prabowo sangat tepat. Sudah lebih dari dua dekade sejak lahirnya Undang-Undang Polri, kini saatnya disesuaikan dengan perkembangan zaman,” ujar Raja Pane.

Pelajaran dari Sukabumi

Sejarah panjang Polri menunjukkan kiprah besar sejak masa pra-kemerdekaan hingga era digital saat ini, di mana tantangan baru seperti kejahatan siber semakin meningkat. Meski demikian, pelayanan keamanan bagi masyarakat belum merata.

Contohnya dapat dilihat dari peristiwa di Kampung Citangkil, Sukabumi, pada 27 Juni 2025. Rumah singgah di kawasan itu dirusak massa meski aparat sudah berada di lokasi. Ironisnya, rumah tersebut digunakan untuk kegiatan retreat bagi anak-anak usia 10–14 tahun. Mereka justru menjadi saksi langsung kekerasan yang seharusnya dicegah oleh aparat.

Kejadian ini memperlihatkan lemahnya aspek keamanan manusia. Polisi di lapangan gagal memberikan perlindungan maksimal. Pengalaman traumatis semacam itu dapat meninggalkan bekas mendalam bagi anak-anak dan masyarakat sekitar.

Keamanan Manusia di Atas Segalanya

Konsep keamanan manusia tidak hanya berkaitan dengan perlindungan fisik, tetapi juga mencakup hak asasi, kebebasan berpendapat, serta rasa aman dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku Keamanan Manusia: Konsepsi, Implementasi, dan Perbandingan Negara Lain (Imparsial, 2023), Al Araf dan Evitarossi Budiawan menulis bahwa keamanan masa kini tidak lagi berfokus pada negara sebagai objek perlindungan, melainkan pada manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

UNDP melalui Human Development Report 1994 juga menegaskan dua aspek utama keamanan manusia: kebebasan dari ancaman kronis seperti kelaparan dan penindasan, serta perlindungan dari gangguan mendadak yang mengganggu kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut, terdapat tujuh kategori keamanan manusia, yaitu keamanan ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi, masyarakat, dan politik. Di antara semuanya, keamanan politik dinilai paling penting karena menyangkut perlindungan dari represi negara, termasuk kebebasan pers dan berpendapat.

Sayangnya, wacana human security yang sempat menguat pada dekade 1990-an kini mulai meredup, tergeser oleh pendekatan keamanan negara (state security) yang lebih dominan.

Peran Masyarakat

Selama prioritas keamanan manusia belum sepenuhnya terwujud, masyarakat perlu mengambil peran aktif dalam menjaga keamanan lingkungan. Sistem keamanan seperti siskamling, hansip, hingga Pam Swakarsa dapat diaktifkan kembali.

Warga juga perlu membekali diri dengan keterampilan praktis, termasuk bela diri. Jangan sampai masyarakat lebih mudah menjadi korban kejahatan daripada mendapatkan perlindungan dari aparat.

Penutup

Polri lahir sebagai alat negara. Namun di tengah dinamika bangsa yang terus berubah, muncul pertanyaan yang tetap relevan: apakah Polri akan terus menjadi polisi untuk negara, atau berubah menjadi polisi untuk bangsa?

Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan wajah Polri di masa depan—apakah menjadi institusi yang ditakuti, atau justru dicintai oleh rakyatnya.

Penulis: Mohammad Nasir, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan dan mantan wartawan Harian Kompas, yang pernah meliput di Markas Besar Polri pada awal tahun 1990-an. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA