Tradisi vs Modernitas: Bisakah Kita Menjaga Warisan Budaya?

waktu baca 3 menit
Minggu, 21 Des 2025 11:14 51 Nazwa

OPINI | BD — Di era globalisasi yang mengalir begitu cepat, teknologi telah menjadi motor utama perubahan sosial. Dengan gawai yang terhubung ke internet, informasi menyebar dalam hitungan detik, budaya populer lintas negara hadir di ruang pribadi kita, bahkan menjadi rujukan gaya hidup. Di tengah arus perubahan yang deras ini, muncul pertanyaan penting: apakah tradisi masih memiliki tempat di hati generasi muda?

Sebagian orang menilai bahwa tradisi hanyalah peninggalan masa lalu yang tidak lagi relevan. Namun pandangan ini keliru jika kita memahami bahwa tradisi bukan sekadar ritual atau simbol. Tradisi adalah sumber nilai, cara pandang, serta identitas kolektif. Ketika nilai-nilai itu melemah, maka fondasi jati diri sebuah bangsa ikut retak.

Fenomena di lapangan menunjukkan ancaman tersebut nyata. Banyak upacara adat yang dulu sakral kini hanya dijalankan sebagai formalitas budaya atau sekadar tontonan. Seni daerah bahkan perlahan ditinggalkan. Misalnya, sejumlah seni pertunjukan seperti wayang kulit dan tenun ikat dilaporkan terancam punah akibat kurangnya regenerasi dan minimnya minat generasi muda. Jika ini dibiarkan, hilangnya tradisi bukan hanya kehilangan simbol budaya, tetapi kehilangan akar yang menyambungkan kita dengan sejarah dan nilai luhur nenek moyang.

Ironisnya, salah satu penyebab utama lunturnya tradisi justru berasal dari modernitas yang diminati generasi muda. Budaya digital dan hiburan global lebih mudah diakses, lebih instan, dan dianggap lebih menarik daripada mempelajari bahasa daerah, tari tradisional, atau ritual adat. Ketika teknologi digunakan tanpa kesadaran budaya, ia bisa menjadi faktor yang mempercepat pelapukan nilai-nilai tradisi.

Namun perlu ditegaskan bahwa modernitas bukan berarti kehancuran tradisi. Justru modernitas membuka pintu baru bagi pelestarian tradisi. Contoh nyata dapat kita lihat kini: tradisi Pacu Jalur dari Riau kembali dikenal luas karena viral di media sosial dan direproduksi oleh klub sepak bola internasional seperti PSG dan AC Milan. Tradisi lokal yang sebelumnya hanya dikenal secara regional tiba-tiba menjadi sorotan dunia berkat kekuatan digital.

Contoh lain, diplomasi kuliner Indonesia aktif mempromosikan makanan tradisional seperti tumpeng, rendang, dan satai di festival internasional. Teknologi dokumentasi dan kampanye digital membuat pelestarian budaya semakin mungkin. Di banyak kampus, mahasiswa bahkan membuat program digitalisasi aksara dan artefak budaya, misalnya “Wiki Museum” daring yang memuat foto, narasi, dan sejarah budaya lokal agar mudah diakses generasi muda. Ini menunjukkan bahwa teknologi, jika dimanfaatkan dengan tepat, dapat menjadi alat yang memperkuat kemampuan tradisi bertahan.

Pemerintah pun kini mulai menginisiasi kembali tradisi lokal, seperti pelestarian jamu rempah dan kebaya yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda. Festival gamelan, gerakan memakai kebaya di ruang publik, hingga program pendidikan gamelan di sekolah menjadi bukti bahwa pelestarian budaya dapat dikelola secara modern, inklusif, dan kreatif.

Namun revitalisasi tradisi tidak boleh berhenti pada dokumentasi atau festival. Pendidikan budaya perlu menghadirkan makna filosofis di balik tradisi agar generasi muda tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi pelanjut nilai moral, sosial, dan spiritual yang terkandung di dalamnya. Ketika generasi demi generasi memahami tujuan suatu tradisi, mereka akan merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberlanjutannya.

Pada akhirnya, pilihan berada di tangan kita. Modernitas bukan musuh tradisi, tetapi bisa menjadi alat untuk menguatkannya jika dikelola dengan bijak. Jika kita hanya larut dalam arus global tanpa pijakan budaya, maka generasi mendatang akan tumbuh tanpa akar. Tetapi jika kita mampu berjalan maju sambil memegang erat warisan leluhur, maka modernitas dan tradisi dapat berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

Sejarah akan mencatat apakah kita hanya menjadi konsumen budaya modern atau menjadi penjaga nilai yang diwariskan. Pertanyaannya kini semakin mendesak: apakah kita siap membangun masa depan tanpa melupakan masa lalu?

Penulis: Amanda Nur Fadilah
Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA