OPINI | BD — Tragedi ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading pada Jumat, 7 November 2025, bukan sekadar insiden yang mencederai sejumlah siswa saat mereka sedang melaksanakan salat Jumat. Ia telah menjelma menjadi luka kolektif, sekaligus alarm keras bahwa masalah perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan bukanlah persoalan sepele. Ledakan yang melukai fisik dan merusak pendengaran puluhan siswa hanyalah puncak gunung es dari persoalan psikologis yang lama diabaikan.
Penyelidikan mengungkap bahwa pelaku adalah seorang siswa yang masih di bawah umur. Ia bukan kriminal profesional, bukan pula pelaku yang terpapar paham radikal, melainkan remaja yang selama ini bergulat dengan rasa kesepian, relasi sosial yang rapuh, dan tekanan batin yang tidak memiliki ruang untuk dititipkan. Dalam kondisi seperti ini, perundungan yang kembali ia alami dari teman-temannya menjadi pemicu emosional yang membawa ia pada keputusan ekstrem—tindakan yang membahayakan banyak orang dan menghancurkan hidupnya sendiri.
Peristiwa ini memberi kita refleksi mendalam: kegagalan mencegah perundungan bukan hanya kegagalan institusi sekolah, tetapi kegagalan moral kolektif. Ia menunjukkan betapa luka psikologis remaja dapat berubah menjadi ancaman nyata ketika dibiarkan membusuk tanpa penanganan.
Akar Masalah: Kegagalan Moral, Etika, dan Internaliasi Pancasila
1. Lunturnya Kesadaran Moral dalam Relasi Antarsiswa
Perundungan di sekolah sering dianggap “bumbu” interaksi remaja, padahal ia adalah pelanggaran fundamental terhadap martabat manusia. Ada beberapa tanda kemunduran moral yang tampak jelas:
- Empati melemah. Siswa tidak lagi sensitif terhadap dampak emosional kata-kata dan perilaku mereka.
- Budaya superioritas kelompok. Status sosial menjadi alat dominasi, bukan ruang pertemanan.
- Candaan tanpa batas etis. Banyak remaja tidak memahami bahwa “sekadar bercanda” bisa meninggalkan trauma mendalam.
Ketika moral dasar seperti saling menghormati tidak tertanam, maka kekerasan nonfisik mudah berubah menjadi tekanan mental yang tak tertahan.
2. Kegagalan Etika Komunitas Sekolah
Etika tidak hanya milik individu; ia juga tanggung jawab komunitas. Sayangnya, tragedi ini menunjukkan banyak celah:
- Minimnya perlindungan bagi siswa rentan. Tidak ada mekanisme efektif untuk mencegah atau merespons perundungan.
- Diamnya para saksi. Budaya “tidak mau ikut campur” memperkuat siklus kekerasan.
- Tidak tersedia ruang aman untuk melapor. Banyak siswa takut dikucilkan bila berbicara.
Sekolah sebagai institusi etis gagal membangun atmosfer yang melindungi semua warganya.
Mengapa Pendekatan Hukum Saja Tidak Pernah Cukup
Hukum bekerja setelah sebuah pelanggaran terjadi. Namun, perundungan adalah persoalan yang tumbuh dari kekosongan empati, rapuhnya karakter, dan lemahnya pendidikan moral. Meski aturan diperketat, praktik bullying tetap hidup karena akarnya bukan pada ketidaktahuan terhadap sanksi, tetapi pada ketidakmampuan memahami perasaan orang lain.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa tekanan emosional pelaku tidak mendapat saluran penyelesaian. Hukum tidak menyediakan ruang untuk menangis, mengadu, atau didengarkan. Tanpa konselor yang aktif, ruang dialog yang aman, atau mentor yang berempati, remaja dapat memilih jalan yang keliru—seperti ledakan yang terjadi di SMAN 72.
Oleh karena itu, pencegahan berbasis nilai Pancasila jauh lebih fundamental. Jika hukum menahan seseorang karena takut, Pancasila mencegah seseorang berbuat buruk karena sadar.
Pendidikan Nilai Tidak Bisa Hanya Berupa Ceramah
Internalisasi nilai kemanusiaan, empati, dan keadilan membutuhkan pengalaman nyata. Sekolah tidak cukup mengajarkan Pancasila sebagai teori dalam buku teks; nilai itu harus dihidupkan.
Beberapa pendekatan praktis dapat dilakukan:
- Pancasila Experience Day: Hari khusus untuk refleksi, berbagi pengalaman, dan menyampaikan luka yang belum tertangani.
- Healing Corner: Ruang aman bagi siswa untuk mengakses konseling emosional tanpa stigma.
- Program Teman Pancasila: Sistem mentoring antarsiswa untuk mendampingi mereka yang rentan secara sosial atau emosional.
- Projek Pancasila: Aktivitas rutin seperti kampanye anti-perundungan dan pembuatan mural kemanusiaan yang melibatkan semua siswa.
Program-program tersebut menghadirkan nilai Pancasila secara hidup, bukan sekadar hafalan.
Kesimpulan: Perundungan adalah Ancaman bagi Nilai Kebangsaan
Tragedi SMAN 72 Jakarta adalah cermin retaknya sistem kepedulian sosial kita. Ia memperlihatkan bahwa:
- nilai kemanusiaan belum benar-benar hidup dalam relasi sosial siswa,
- perlindungan psikologis di sekolah masih sangat lemah,
- dan internalisasi Pancasila belum terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, kegagalan menjaga martabat individu merupakan kegagalan ideologis. Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman bagi pertumbuhan moral, emosional, dan intelektual remaja. Namun kenyataannya, beberapa sekolah justru menjadi ruang di mana tekanan sosial dibiarkan berkembang tanpa kontrol.
Solusi jangka panjang bukan sekadar memperketat sanksi, tetapi membangun budaya sekolah yang humanis, yang mengutamakan empati, kepedulian, dan keadilan sosial. Ketika nilai-nilai kemanusiaan menjadi napas kehidupan sekolah, maka perundungan bukan hanya dianggap salah, tetapi tidak mungkin tumbuh.
Dengan demikian, tragedi ini harus menjadi tonggak perubahan. Bukan hanya agar kejadian serupa tidak terulang, tetapi agar sekolah kembali menjadi ruang yang aman, inklusif, dan beradab—sebagaimana yang dikehendaki oleh Pancasila.
Penulis: Sondang Glory Cialine — Mahasiswi Semester 1, Mata Kuliah Pancasila, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)
Tidak ada komentar