Ilustrasi oleh penulisOPINI | BD – Dalam berbagai literatur politik, demokrasi tidak pernah berhenti pada ritual pemilu dan pergantian pemimpin. Demokrasi sejati mencakup bagaimana suara rakyat dihitung secara setara, bagaimana kebijakan publik disusun dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, serta bagaimana transparansi dan akuntabilitas dijaga oleh penyelenggara negara.
Salah satu bentuk ideal demokrasi semacam itu adalah demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya partisipasi publik melalui ruang dialog terbuka. Dalam model ini, keputusan politik dianggap sah bukan hanya karena mengikuti prosedur hukum, tetapi juga karena melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam konsultasi, debat, dan kritik. Demokrasi tidak boleh menjadi monolog kekuasaan; ia harus hidup dari dialog rakyat.
Pertengahan Februari 2025 menjadi titik balik penting dalam perjalanan demokrasi kita. Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil turun ke jalan dalam aksi bertajuk “Indonesia Gelap”—sebuah gerakan moral dan politik yang digelar serentak di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Medan, Solo, hingga Kalimantan Selatan.
Aksi ini lahir dari keresahan terhadap Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran, yang dianggap menekan sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan. Di mata mahasiswa, Inpres tersebut bukan hanya soal efisiensi, tetapi simbol kegelapan kebijakan: rakyat diminta berhemat, sementara elit tetap nyaman di kursinya.
Gerakan ini digerakkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dengan 13 tuntutan utama. Beberapa di antaranya menyoroti pembatalan Inpres 1/2025, penolakan terhadap komersialisasi pendidikan, evaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), serta penolakan revisi Undang-Undang Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang—kebijakan yang dianggap mengancam independensi akademik dan menodai nilai dasar pendidikan.
Pada 17 Februari 2025, ribuan massa memadati kawasan Patung Kuda, Jakarta, membawa spanduk bertuliskan “Indonesia Gelap: Rakyat Menggugat!” dan “Kami Tidak Buta, Kami Melihat Ketidakadilan!” Hujan deras tak menyurutkan semangat mereka. Lilin dinyalakan sebagai simbol kegelapan yang menyelimuti bangsa.
Aksi serupa terjadi di berbagai daerah. Di Medan, mahasiswa bertahan di depan DPRD Sumatera Utara meski diguyur hujan. Di Solo, jalan utama kota berubah menjadi lautan almamater. Semuanya memperlihatkan bahwa semangat kritik mahasiswa belum padam.
Gerakan “Indonesia Gelap” bukan sekadar protes terhadap kebijakan ekonomi, melainkan refleksi terhadap krisis demokrasi deliberatif di Indonesia. Ketika kebijakan disusun tanpa mendengarkan suara rakyat, demokrasi kehilangan maknanya dan berubah menjadi sekadar formalitas.
Pernyataan salah satu koordinator BEM SI mencerminkan keresahan ini:
“Kebijakan efisiensi ini seolah mengorbankan rakyat kecil demi menutup celah anggaran yang dibuat oleh elit.”
Kritik tersebut menyentuh akar persoalan: ketimpangan struktural antara penguasa dan rakyat. Demokrasi Indonesia seakan bergerak makin top-down—di mana kebijakan dibuat di ruang tertutup, sementara ruang partisipasi publik justru menyempit.
Salah satu tuntutan paling menarik perhatian adalah penolakan revisi UU Minerba. Usulan agar perguruan tinggi bisa mengelola tambang dinilai berpotensi mengaburkan peran kampus sebagai penjaga moral dan intelektual bangsa.
Jika pendidikan tinggi diarahkan menjadi instrumen ekonomi, maka nilai idealisme dan nalar kritis bisa terkikis. Banyak akademisi memperingatkan bahwa independensi akademik adalah fondasi demokrasi. Kampus harus menjadi tempat membentuk kesadaran kritis, bukan sekadar lembaga bisnis yang tunduk pada logika pasar.
Pemerintah sempat mencoba meredakan ketegangan. Menteri Sekretaris Negara Hadi Tjahjanto turun langsung menemui massa di Jakarta dan berjanji menindaklanjuti tuntutan. Namun, beberapa hari berselang, belum ada langkah konkret yang dijelaskan kepada publik. Kekecewaan pun meluas.
Beberapa daerah bahkan menyatakan kesiapan menggelar aksi lanjutan jika pemerintah tidak merespons dalam 2×24 jam. Di sinilah terlihat bahwa krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah bukan hanya soal kebijakan ekonomi, melainkan menyangkut legitimasi politik dan etika komunikasi negara dengan rakyatnya.
Sebagian pihak menuding bahwa aksi “Indonesia Gelap” berpotensi ditunggangi kepentingan politik. Namun, mahasiswa menegaskan bahwa gerakan ini murni lahir dari kesadaran rakyat. “Kami tidak bicara untuk partai mana pun. Kami bicara untuk rakyat,” ujar salah satu peserta aksi di Jakarta.
Sementara itu, kehadiran aparat dalam jumlah besar di beberapa lokasi memunculkan kekhawatiran tentang pembatasan ruang demokrasi. Tindakan represif, sekecil apa pun, hanya akan memperdalam jarak antara pemerintah dan rakyat. Padahal, kritik adalah bagian dari napas demokrasi; menolak kritik sama saja dengan menutup pintu bagi pembenahan.
Gerakan “Indonesia Gelap” membuktikan bahwa idealisme mahasiswa belum mati. Di tengah pragmatisme politik, mereka tetap menjadi suara moral yang menegakkan nurani bangsa. Aksi ini mengingatkan bahwa demokrasi tidak akan hidup jika rakyat diam.
Ketika mahasiswa turun ke jalan, itu bukan sekadar perlawanan, melainkan refleksi jarak antara kebijakan dan kenyataan. Ketika rakyat menggugat, berarti ada sesuatu yang salah di dalam sistem.
“Indonesia Gelap: Rakyat Menggugat!” bukan sekadar slogan emosional, tetapi seruan moral agar negara tidak menutup mata terhadap gelap yang melingkupi bangsanya. Sebab, di balik kegelapan itu, selalu ada cahaya — dan kali ini, cahaya itu datang dari rakyat yang berani bersuara.
Penulis: Nayla Izzati Fathania
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)
Tidak ada komentar